Slider

Minggu, 01 Juni 2014
0 komentar

Sang Penembak dan Kerakusan (oleh Putra Hidayatullah)

15:02

BEREWOK lelaki itu sudah memutih. Ia kelihatan tua. Dari gedung-gedung tinggi ia menyorot mangsanya melalui teropong. Ia menembak orang-orang berbaju jas. Si penembak itu Rasmus, tokoh utama film The Shooter. Film ini disutradarai oleh perempuan muda bernama Annette K Olesen. Setelah dirilis pada 2013,  film ini dicalonkan meraih piala Robert Awards (Oscar-nya Denmark). 

Persoalan bermula saat pemerintah Denmark menandatangani kesepakatan dengan pemerintah Amerika Serikat untuk mengebor minyak di wilayah Green Land. Di awal film muncul gambar wilayah Artik yang penuh dengan es. Bongkahan-bongkahannya berjatuhan. Konon jika semua es ini mencair, air laut bisa mengalami kenaikan hingga tujuh meter. Dan itu dapat menenggelamkan sebuah pantai. 

Pihak-pihak yang diuntungkan dari pengeboran tersebut punya ‘mulut manis’ yang berisi data gadungan sehingga kebijakan itu terdengar masuk akal. Rasmus adalah mantan pakar geofisika. Ia satu di antara ratusan atau ribuan orang di dunia yang menyadari dampak buruk dari eksploitasi terhadap alam. Rasmus punya data. Ia meminta wartawan mempublikasikan bahwa  pengeboran yang dilakukan pemerintahnya akan menimbulkan dampak lebih parah bagi umat manusia.  

Namun sebagaimana lazimnya, orang kecil jarang didengar. Rasa frustrasi, jika layak disebut demikian, mendorongnya bertindak ekstrem. Ia menembak satu demi satu politisi yang terlibat dalam persekongkolan tersebut.  Mungkin karena itu film ini diberi judul The Shooter, sang Penembak.

Jika ada kategori film (termasuk jenis seni lainnya) yang baik, seharusnya The Shooter tidak hanya membuat kita terhibur tetapi juga membuat urat saraf bangkit dari tidur. The Shooter tidak hanya gambaran tentang bagaimana kerakusan bekerja tapi bagaimana kerakusan mampu mematikan akal sehat dan kemungkinan hadirnya kerakusan-kerakusan yang sama di sekeliling kita. 

Rasmus bisa jadi adalah perwakilan dari rasa frustrasi orang-orang di Eropa, tempat di mana modernitas lahir dan menguasai hampir setiap sendi kehiduapan manusia. Tempat banyak ilmu pengetahuan berkembang hingga sub paling khusus seperti ilmu pertambangan, ilmu perminyakan dll. Ia menjadi ibu kandung dari banyak teknologi. 

Kita bisa melihat traktor. Mesin ini telah menghemat jumlah energi yang harus dikeluarkan seorang petani untuk membajak sawah. Dulu manusia perlu dua hari untuk menebang sebatang pohon besar. Ilmu pengetahuan memberi chainsaw yang membuat pohon roboh dalam 30 menit. 

Benar bahwa ilmu pengetahuan adalah kekuatan sekaligus efisiensi. Tapi kekuatan yang bekerja untuk siapa? Pada kenyataannya ia juga melahirkan mesin dan bor-bor besar yang maha canggih. Ia menjadi alat yang bekerja hanya untuk segelintir orang. Ilmu pengetahuan tak kuasa menahan laju kerakusan yang bersembunyi di balik perusahaan-perusahaan multinasional dan terus bereproduksi dari waktu ke waktu.

Usai menonton The Shooter, seorang perempuan Jerman berujar kepada saya, “Sekarang coba bayangkan! Setelah semua diperoleh, uang yang banyak, harta berlimpah tapi kemudian yang didapat adalah hutan yang hancur, air yang tercemar, dan udara yang berpolusi. Dapatkah manusia berbahagia dengan keadaan seperti itu?” 

Seolah-olah ia ingin bilang bahwa manusia tidak hanya harus mengontrol kepada siapa sebuah kebijakan sedang berpihak. Tetapi juga kemana ilmu pengetahuan bergerak. Apakah ia menuju muara yang mematikan akal sehat, membuat hidup manusia lebih sejahtera, atau tidak memberi arti apa-apa?

Lebih konkritnya bagaimana peran universitas-universitas yang kita anggap tempat ilmu pengetahuan berkembang biak. Kepada siapa ilmu pengetahuan yang bergerak itu berpihak. Kepada modal atau kepada ekosistem?

Kata Eropa mungkin terdengar jauh di telinga. Tapi ribuan mil dari tempat Rasmus membunuh politisi busuk terdapat negara yang namanya tertulis dalam KTP setiap kita hari ini. Negara yang dalam hal kerakusan juga tidak kalah ganas dalam bekerja. 

Data Greenpeace menyebutkankan bahwa hutan di Indonesia hilang sebesar sembilan kali kolam renang olimpiade dalam setiap menit (Kompas, 26/2/14). Perusahaan-perusahaan butuh rimba yang lebih luas untuk dibabat dan kemudian disulap menjadi ladang kelapa sawit. 

Manusia modern tergantung pada deterjen, shampoo, dan bahan-bahan kosmetik. Semakin banyak barang-barang ini dikonsumsi, semakin banyak keuntungan didapat. Tapi tentu saja ketika kerakusan terlampau ganas bekerja, ada harga yang harus kita bayar bersama. 

Di Aceh kita masih punya alam yang lumayan hijau. Kita belum lagi mengeluh dengan keterbatasan air bersih. Perairan kita masih aman dari merkuri. Kita punya Ulu Masen yang menaungi 5 kabupaten dan menghidupi 17 sungai besar. Tapi bukan berarti keadaan hutan dan alam kita ini bakal aman dari jarahan tangan-tangan raksasa yang rakus serta tidak kita kenal. 

Di akhir film The Shooter, Rasmus bernasib tragis. Seolah ini pesan bahwa melawan kerakusan semacam itu tak bisa dilakukan dengan sikap one man show (serba sendiri) yang emosional. Ini bukan pekerjaan di atas pundak satu orang. Ini tugas yang bermuara pada gerak bersama dan tentu saja didasari oleh kepekaan dan sebaik-baik kewarasan setiap kita. 

* Putra Hidayatullah; Menulis beberapa esai dan cerita pendek

Sumber: Serambi Indonesia

Berita Terbaru

 
Top