Awal Oktober
lalu, menjelang hengkangnya sejumlah politikus dari parlemen Aceh periode
2009-2014, kita terperanjat membaca draf Qanun Jinayat kembali dilembarkan.
Lima tahun sebelumnya, politikus parlemen Aceh (periode 2004-2009) berperangai
sama: mereka meninggalkan draf Qanun Jinayat, suatu kode hukum lengkap dengan
hukum potong tangan dan rajam. Aturan tersebut tak dapat diberlakukan karena
Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh waktu itu, tak mau menandatanganinya.
Tak mudah
bagi orang menalar sejak kapan dan kenapa Aceh kini senantiasa mengedepankan
cita-cita kembali ke masa silam dan bagaimana kaitannya dengan tafsir identitas
kembarnya dengan Islam. Masa depan Aceh seperti pusaran mesianik yang tak lagi
linear ke depan akibat rentang satu abad konflik periodik—perang kolonial,
revolusi sosial, Darul Islam, hingga Gerakan Aceh Merdeka, yang menciptakan
perang hingga ke dekade awal milenium ini—yang menyita segala hal, termasuk
harta, nyawa, dan akal sehat.
Rombongan ekspedisi Prancis yang dipimpin Jenderal Augustin de Beaulieu mendarat di Aceh pada 1621. Rentang waktu singgahnya selama kurang lebih enam bulan menyisakan satu laporan penting tentang detail kehidupan masyarakat di seputar bandar Aceh. Aceh 1621, merujuk pada tarikh yang disusun sejarawan, adalah masa kendali kekuasaan di tangan Iskandar Muda (1607-1636), yang sekarang diyakini banyak orang pernah memerintah Aceh dengan hukum Ilahi.
Ada bagian
yang mencekam dari laporan Beaulieu tentang orang lalu-lalang tanpa hidung,
kuping, mata, lidah, atau tangan akibat dimutilasi oleh algojo kerajaan. Hukum
yang ditegakkan Sultan, pengadilan, dan pemandangan eksekusinya, dalam bahasa
Beaulieu, dinyatakan "kejamnya tiada tara". Sultan Iskandar
dikabarkan gemar mengoleksi beragam alat penyiksa, jenis pengait dan penjagal
yang terbuat dari logam, racun, hingga menggunakan gajah untuk menanggalkan
organ tubuh pesakitan. Khalayak senantiasa dipanggil untuk menyaksikan upacara
penghukuman.
Catatan
Beaulieu bagaimanapun memberi kita satu potret supremasi hukum. Ia menulis
tentang seorang pencuri dewasa yang patuh mengikuti anak kecil yang menyeretnya
ke hadapan mahkamah. Bagian paling penting adalah tidak ada seorang pun yang
dapat mengejek mereka yang telah menjalani hukuman. Jika ia yang telah
menjalani hukuman merasa terhina, si penggunjing dapat dihakimi sendiri
olehnya. Ia merdeka membela kehormatannya sebagai orang yang telah bebas dari
mahkamah. Kehormatan berbanding lurus dengan supremasi hukum. Kita akan kembali
ke bagian ini nanti untuk melihat apa yang terjadi kini di Aceh.
Dari beragam
praktek hukum, juga koleksi alat siksa yang digunakan oleh para eksekutor, atas
titah Sultan, pembaca yang jeli bisa berasumsi bahwa sang Sultan tak melulu
sedang menjalankan hukum hudud per se sebagaimana termaktub dalam yurisprudensi
Islam, karena tentu Islam tak menganjurkan prinsip penyiksaan dalam menunaikan
hukuman. Bagian tubuh, seperti hidung, telinga, dan mata, yang dihilangkan juga
bukan ganjaran dan simbol bagi tegaknya hukum Islam. Anthony Reid, yang menerjemahkan
satu bagian laporan Beaulieu ke dalam Witnesses to Sumatra: A Traveler's
Anthology (1995), menulis apa yang dijalankan oleh Sultan adalah pameran
kekuasaan dan kekuatan tiada batas.
Lebih dari
empat abad kemudian, panggung cambuk sebagai wujud pelaksanaan Syariat Islam
semestinya memang bukan hal yang baru dalam imaji masyarakat Aceh. Namun, yang
bisa kita pelajari dari catatan di atas dan membandingkannya dengan panggung
cambuk zaman kita, ada perbedaan pada prinsip dan tujuan penghukuman. Sekarang,
setelah beberapa peraturan daerah yang diberi label Syariat Islam diberlakukan
di Aceh sejak 2001, cambuk dipahami bukan lagi untuk membuat jera badan,
melainkan lebih bertujuan menjatuhkan harga diri si terhukum. "Untuk
mempermalukan" adalah frasa yang kini disebut oleh otoritas sebagai tujuan
prosesi pencambukan. Tak mengherankan bila hukuman itu senantiasa dilakukan di
halaman masjid selepas salat Jumat dengan kerumun orang terkonsentrasi tanpa
perlu dimobilisasi.
Gambaran
sejarah tentang hukum di masa Sultan yang dihantar Beaulieu, yang kejam tapi
membebaskan orang dari rasa malu dan terhina, tidak lagi berlaku. Sebaliknya,
penghinaan, rasa malu, dan pergunjingan untuk si terhukumlah yang diharapkan
oleh otoritas sekarang. Tujuan mempermalukan di sini sebenarnya juga
mengkhianati prinsip dasar agama Islam sendiri, yakni pada poin bahwa beragama
dan menjaga agama adalah untuk menjaga kehormatan manusia.
Pengkhianatan
dimulai dari zaman konflik periodik satu abad di atas. Islam senantiasa menjadi
opsi yang secara repetitif diartikulasikan oleh siapa pun yang mendefinisikan
diri sebagai pemerintah, dari kuasa kolonial abad ke-19 hingga rezim-rezim yang
memerintah dari Jakarta di kemudian hari. Tentu saja dengan kolaborasi aktor
lokal dan kelompok yang melihat itu sebagai peluang ekonomi-politik setelah
kolonialisme dan proyek negara modern memarginalkan peran reguler mereka. GAM,
kelompok yang dianggap pusat memiliki anatomi serupa dengan DI/TII, menjadi
dalih terakhir kenapa Syariat Islam harus formal dijalankan di Aceh sejak 2001.
Meski yang
bersangkutan menolak Islam sebagai alasan mereka mengobarkan perang, syariat
tetap diberikan untuk Aceh tanpa mufakat, tanpa rumusan dan pengertian. Bagi
Hamzah Haz, Wakil Presiden Indonesia ketika itu, syariat adalah uji coba.
"Sukses-tidaknya bukan urusan saya," itu mungkin kalimat yang bisa
ditambah untuk uji coba ini. Itu seperti mesin syariat lalu menggelinding,
tanpa dialog.
Opsi
tersebut tak menghentikan kejahatan perang. Konflik terus berlanjut, dan syariat
menjadi alat politik yang menyertainya. Tsunami 2004 mengakumulasi skala derita
masyarakat Aceh sekaligus meruntuhkan tembok pongah darurat militer. Namun
syariat telah telanjur diterjemahkan ke berbagai varian larangan, kegiatan
patroli, pengintaian, dan berlaku timpang.
Ada banyak
kasus mesum, korupsi, judi, dan narkotik yang melibatkan aparatur pemerintah
dan orang berpunya tak pernah diadili dengan hukum syariat, sementara
masyarakat yang tak punya posisi tawar secara finansial dan politik harus menjalani
prosesi dipermalukan di depan umum. Mantan gerilyawan GAM yang kini memegang
posisi-posisi strategis di pemerintahan Aceh tampaknya juga sudah tahu guna
kolaborasi politik dan syariat yang dulu ditolaknya.
Di sinilah
terlihat bagaimana kepentingan politik telah menjatuhkan cara pandang sebagian
orang Aceh tentang kehormatan manusia, pembacaan sejarah yang keliru, dan
melemahkan wibawa hukum Islam di kalangan pemeluknya sendiri. Demokrasi dan hak
asasi manusia yang turut membantu Aceh keluar dari konflik berdarah dulu kini
dominan dilihat sebagai ancaman. Kritik dan masukan tentang ketidakadilan
politik pemberlakuan syariat selalu dibungkam dengan serangan dan stigma
anti-Syariat Islam kepada yang menyuarakannya.
Berbagai
koran dunia kini menulis Aceh dan masyarakatnya sebagai kawasan Islam
konservatif dan radikal. Dua stigma yang oleh salah satu calon presiden gagal
akan dikatakan: "apa urusan mereka dengan kita". Begitu juga dua
periode pemerintahan terakhir telah membiarkan hal itu, seolah-olah Aceh ada
dalam teritori tersendiri, dan itu adalah masalah Aceh, bukan masalah
Indonesia. Untuk itu, kita perlu tahu sikap presiden baru.
Penulis adalah salah seorang pendiri Komunitas Tikar Pandan, saat ini sedang melanjutkan studi doktoral di Departemen Antropologi Universitas
Harvard, Amerika Serikat.
[Catatan Redaksi Web KTP: Tulisan ini sudah dipublikasikan di Majalah Tempo edisi 13-19 Oktober 2014.]