Slider

Minggu, 19 Oktober 2014
0 komentar

Aceh, Syariat, Siasat (oleh: Reza Idria)

15:53


Awal Oktober lalu, menjelang hengkangnya sejumlah politikus dari parlemen Aceh periode 2009-2014, kita terperanjat membaca draf Qanun Jinayat kembali dilembarkan. Lima tahun sebelumnya, politikus parlemen Aceh (periode 2004-2009) berperangai sama: mereka meninggalkan draf Qanun Jinayat, suatu kode hukum lengkap dengan hukum potong tangan dan rajam. Aturan tersebut tak dapat diberlakukan karena Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh waktu itu, tak mau menandatanganinya.

Tak mudah bagi orang menalar sejak kapan dan kenapa Aceh kini senantiasa mengedepankan cita-cita kembali ke masa silam dan bagaimana kaitannya dengan tafsir identitas kembarnya dengan Islam. Masa depan Aceh seperti pusaran mesianik yang tak lagi linear ke depan akibat rentang satu abad konflik periodik—perang kolonial, revolusi sosial, Darul Islam, hingga Gerakan Aceh Merdeka, yang menciptakan perang hingga ke dekade awal milenium ini—yang menyita segala hal, termasuk harta, nyawa, dan akal sehat.

Rombongan ekspedisi Prancis yang dipimpin Jenderal Augustin de Beaulieu mendarat di Aceh pada 1621. Rentang waktu singgahnya selama kurang lebih enam bulan menyisakan satu laporan penting tentang detail kehidupan masyarakat di seputar bandar Aceh. Aceh 1621, merujuk pada tarikh yang disusun sejarawan, adalah masa kendali kekuasaan di tangan Iskandar Muda (1607-1636), yang sekarang diyakini banyak orang pernah memerintah Aceh dengan hukum Ilahi.

Ada bagian yang mencekam dari laporan Beaulieu tentang orang lalu-lalang tanpa hidung, kuping, mata, lidah, atau tangan akibat dimutilasi oleh algojo kerajaan. Hukum yang ditegakkan Sultan, pengadilan, dan pemandangan eksekusinya, dalam bahasa Beaulieu, dinyatakan "kejamnya tiada tara". Sultan Iskandar dikabarkan gemar mengoleksi beragam alat penyiksa, jenis pengait dan penjagal yang terbuat dari logam, racun, hingga menggunakan gajah untuk menanggalkan organ tubuh pesakitan. Khalayak senantiasa dipanggil untuk menyaksikan upacara penghukuman.

Catatan Beaulieu bagaimanapun memberi kita satu potret supremasi hukum. Ia menulis tentang seorang pencuri dewasa yang patuh mengikuti anak kecil yang menyeretnya ke hadapan mahkamah. Bagian paling penting adalah tidak ada seorang pun yang dapat mengejek mereka yang telah menjalani hukuman. Jika ia yang telah menjalani hukuman merasa terhina, si penggunjing dapat dihakimi sendiri olehnya. Ia merdeka membela kehormatannya sebagai orang yang telah bebas dari mahkamah. Kehormatan berbanding lurus dengan supremasi hukum. Kita akan kembali ke bagian ini nanti untuk melihat apa yang terjadi kini di Aceh.

Dari beragam praktek hukum, juga koleksi alat siksa yang digunakan oleh para eksekutor, atas titah Sultan, pembaca yang jeli bisa berasumsi bahwa sang Sultan tak melulu sedang menjalankan hukum hudud per se sebagaimana termaktub dalam yurisprudensi Islam, karena tentu Islam tak menganjurkan prinsip penyiksaan dalam menunaikan hukuman. Bagian tubuh, seperti hidung, telinga, dan mata, yang dihilangkan juga bukan ganjaran dan simbol bagi tegaknya hukum Islam. Anthony Reid, yang menerjemahkan satu bagian laporan Beaulieu ke dalam Witnesses to Sumatra: A Traveler's Anthology (1995), menulis apa yang dijalankan oleh Sultan adalah pameran kekuasaan dan kekuatan tiada batas.

Lebih dari empat abad kemudian, panggung cambuk sebagai wujud pelaksanaan Syariat Islam semestinya memang bukan hal yang baru dalam imaji masyarakat Aceh. Namun, yang bisa kita pelajari dari catatan di atas dan membandingkannya dengan panggung cambuk zaman kita, ada perbedaan pada prinsip dan tujuan penghukuman. Sekarang, setelah beberapa peraturan daerah yang diberi label Syariat Islam diberlakukan di Aceh sejak 2001, cambuk dipahami bukan lagi untuk membuat jera badan, melainkan lebih bertujuan menjatuhkan harga diri si terhukum. "Untuk mempermalukan" adalah frasa yang kini disebut oleh otoritas sebagai tujuan prosesi pencambukan. Tak mengherankan bila hukuman itu senantiasa dilakukan di halaman masjid selepas salat Jumat dengan kerumun orang terkonsentrasi tanpa perlu dimobilisasi.

Gambaran sejarah tentang hukum di masa Sultan yang dihantar Beaulieu, yang kejam tapi membebaskan orang dari rasa malu dan terhina, tidak lagi berlaku. Sebaliknya, penghinaan, rasa malu, dan pergunjingan untuk si terhukumlah yang diharapkan oleh otoritas sekarang. Tujuan mempermalukan di sini sebenarnya juga mengkhianati prinsip dasar agama Islam sendiri, yakni pada poin bahwa beragama dan menjaga agama adalah untuk menjaga kehormatan manusia.

Pengkhianatan dimulai dari zaman konflik periodik satu abad di atas. Islam senantiasa menjadi opsi yang secara repetitif diartikulasikan oleh siapa pun yang mendefinisikan diri sebagai pemerintah, dari kuasa kolonial abad ke-19 hingga rezim-rezim yang memerintah dari Jakarta di kemudian hari. Tentu saja dengan kolaborasi aktor lokal dan kelompok yang melihat itu sebagai peluang ekonomi-politik setelah kolonialisme dan proyek negara modern memarginalkan peran reguler mereka. GAM, kelompok yang dianggap pusat memiliki anatomi serupa dengan DI/TII, menjadi dalih terakhir kenapa Syariat Islam harus formal dijalankan di Aceh sejak 2001.

Meski yang bersangkutan menolak Islam sebagai alasan mereka mengobarkan perang, syariat tetap diberikan untuk Aceh tanpa mufakat, tanpa rumusan dan pengertian. Bagi Hamzah Haz, Wakil Presiden Indonesia ketika itu, syariat adalah uji coba. "Sukses-tidaknya bukan urusan saya," itu mungkin kalimat yang bisa ditambah untuk uji coba ini. Itu seperti mesin syariat lalu menggelinding, tanpa dialog.

Opsi tersebut tak menghentikan kejahatan perang. Konflik terus berlanjut, dan syariat menjadi alat politik yang menyertainya. Tsunami 2004 mengakumulasi skala derita masyarakat Aceh sekaligus meruntuhkan tembok pongah darurat militer. Namun syariat telah telanjur diterjemahkan ke berbagai varian larangan, kegiatan patroli, pengintaian, dan berlaku timpang.

Ada banyak kasus mesum, korupsi, judi, dan narkotik yang melibatkan aparatur pemerintah dan orang berpunya tak pernah diadili dengan hukum syariat, sementara masyarakat yang tak punya posisi tawar secara finansial dan politik harus menjalani prosesi dipermalukan di depan umum. Mantan gerilyawan GAM yang kini memegang posisi-posisi strategis di pemerintahan Aceh tampaknya juga sudah tahu guna kolaborasi politik dan syariat yang dulu ditolaknya.

Di sinilah terlihat bagaimana kepentingan politik telah menjatuhkan cara pandang sebagian orang Aceh tentang kehormatan manusia, pembacaan sejarah yang keliru, dan melemahkan wibawa hukum Islam di kalangan pemeluknya sendiri. Demokrasi dan hak asasi manusia yang turut membantu Aceh keluar dari konflik berdarah dulu kini dominan dilihat sebagai ancaman. Kritik dan masukan tentang ketidakadilan politik pemberlakuan syariat selalu dibungkam dengan serangan dan stigma anti-Syariat Islam kepada yang menyuarakannya.

Berbagai koran dunia kini menulis Aceh dan masyarakatnya sebagai kawasan Islam konservatif dan radikal. Dua stigma yang oleh salah satu calon presiden gagal akan dikatakan: "apa urusan mereka dengan kita". Begitu juga dua periode pemerintahan terakhir telah membiarkan hal itu, seolah-olah Aceh ada dalam teritori tersendiri, dan itu adalah masalah Aceh, bukan masalah Indonesia. Untuk itu, kita perlu tahu sikap presiden baru.


Penulis adalah salah seorang pendiri Komunitas Tikar Pandan, saat ini sedang melanjutkan studi doktoral di Departemen Antropologi Universitas Harvard, Amerika Serikat.

[Catatan Redaksi Web KTP: Tulisan ini sudah dipublikasikan di Majalah Tempo edisi 13-19 Oktober 2014.]

Berita Terbaru

 
Top