Slider

Jumat, 10 April 2015
0 komentar

Round

17:15


 Fozan Santa
PADA1990 sebuah lukisan besar tersangkut mantap di dinding ruang utama kantor gubernur Aceh. Tentang pohonan, batang-batang dililit jelujur semak basah yang mejuntai ke selokan air bening dari hulu. Begitu rapat dan rimbun dalam kehijauan rimba. Ia menarik hangat ke dalam suasana siapa berani lama memandang, dan berdiri tepat di tengah ruang persegi luas itu. Lukisan yang menyimpan keringat, gerak tangan dan sebuah persepsi manusiawi atas kenyataan. Kain kanvas telah membeku-bakukan sebuah ‘otentisitas’.

Otentisitas seperti kenangan. Pada bagian hidup tertentu ia membongkar sekian dukacita, kala lain berganti sebagai batu asah agar kemanusian semakin utuh. Perjalanan rantau dari kampung halaman menuju kampung asing untuk kemudian menjadi intim, lantaran gebalau politik pada satu zaman paling histeria, mesti angkat koper mencari kampung baru adalah petunjuk sederhana bagaimana menemukan sejumlah garis bermutu untuk sketsa-sketsa para pemula. Hingga kelana berhenti pada tepi bingkai. Tak lagi bisa mengelak apatah menjauh, segala peristiwa yang tiba mesti bermuka-muka, bersoal-jawab, atau sekadar menyapa anak-anak muda pergerakan 1998 yang sibuk seperti spanduk dipukul angin, lalu kembali lenyap dalam sapuan warna-warna khas dan unik.


Persis perilaku Pelagia Nilovna dalam novel “Ibunda” milik Maxim Gorky. Menjaga otentisitas dalam amuk revolusi.

Dan karya seni sanggup bertahan, lebih sering disebabkan oleh eksistensi ruang dan waktu yang menyatu dalam sejarah penciptaan dan pertaruhan jiwa kreator. Totalitas yang memacu ‘originalitas’ karya yang tak bisa diulang, direkayasa, kecuali dipalsukan. Perihal ini pernah diretas seorang pemuka Mazhab Frankfurt; Walter Benjamin, dalam esai “Das Kunstwerk im Zeitalter seiner Technischen Reproduzierbarkeit”(1936), dimana muasal kata ‘aura’ menajam untuk mendedah bahwa pada mulanya karya seni lekat dengan tradisi spiritualisme. Bahwa proses kesenian hampir sepadan ritus, mengasah otentisitas untuk meruangkan aura sehingga produksi karya seni mendapat otoritas, tak mampu ditiru.

Sirna aura dan otensitas dalam segala tindakan dan karya seni kelak tiba sejalan perkembangan teknologi reproduksi mekanik. Kebutuhan hidup yang meluap, dari kantor sampai kakus rumah tangga, dalam waktu yang berlari, mendesak satu kebudayaan reproduksi massal tanpa jeda. Fotografi dan mesin cetak menggeser lukisan dan manuskrip, begitu masif memindahkan kerja tangan pada mata-lensa dan deret huruf-huruf digital-metalik. Tak pelak, semua boleh melukis tanpa kuas pengaduk warna, amat mudah kini mencetak buku tanpa mencelup tinta. Kerja-kerja kebudayaan mekanik kemudian mengepak seribu eksemplar karya reproduktif dalam sekian detik, dan secepat itu jua membuat fana. Retak tak hendak menuju klasik, sebab otentisitas dan aura raib.

Kata Benjamin, reproduksi mekanik zaman industrial menggerus reaksi publik dari reflektif menjadi progresif, saat karya seni menjadi pertunjukanyang akhirnya saling bernego politis dengan penonton. Kata kita, reproduksi bahkan menebalkan pesona kapitalistik. Teater kalah oleh kejutan budaya televisi, musik dalam balutan sound-programing, mitos auratik ‘taritangan seribu’ jika dimainkan lebih seribu penari mampu mengubah aroma kontemplatif menjadi tari kreasi baru yang progresif, mungkin berjuluk ‘tari tangan sejuta”. Kasus serupa pada tari Seudati massal atau poster-poster yang mencetak lukisan para maestro. Atau seruan keagamaan yang direproduksi dalam baliho dan spanduk setiap simpang kota, padahal kita yakin aura dan otentisitas nilai agama bersemayam dalam teladan dan sikap jiwa yang “makarimal akhlaq” setiap warga. Spiritualitas seni dan agama ditantang serius oleh zaman reproduksi mekanik.

Seorang pelukis nasional Aceh, pemilik otentik lukisan pohonan dalam rimba bertajuk “Leuser” di atas, otodidak tanpa keluh menyelamatkan totalitas kemanusiaan dalam karya seni meski zaman reproduksi fotografis tiba juga di studionya. Ia terima, bermuka-muka, lantas dengan kamera kodak ia rekam peristiwa sebagai dokumen. Gambar dicetak untuk dituangkan dalam kanvas demi kenangan auratik pelukis menyatu dalam peristiwa, menjadi karya seni. Musibah ombak raya 2004 meratakan studio, menyeret lukisan ke dasar laut sekaligus menghempas jauh tubuh tua itu bersama unggun-timbun sampah. Ia selamat dan menempuh ‘umur kedua’ bersama harta sisa ombak di pojok studio; cat, kuas dan kacamata. Fantastis! Tak lama jeda, tumpah beruntun kesaksiannya tentang tragedi itu, antara lain bertajuk; “The Last Port of the Ark of Tsunami”, “We Got the Fish Today”, God, Help My Daughter!”. Pada 25 Januari 2015, Round Kelana pun berpulang.

* Fauzan Santa, pekerja teater , berkumpul di Seuramo Teater Aceh.

foto : arsip.galeri-nasional.or.id

Berita Terbaru

 
Top