Fozan Santa
PADA1990
sebuah lukisan besar tersangkut mantap di dinding ruang utama kantor gubernur
Aceh. Tentang pohonan, batang-batang dililit jelujur semak basah yang mejuntai
ke selokan air bening dari hulu. Begitu rapat dan rimbun dalam kehijauan rimba.
Ia menarik hangat ke dalam suasana siapa berani lama memandang, dan berdiri
tepat di tengah ruang persegi luas itu. Lukisan yang menyimpan keringat, gerak
tangan dan sebuah persepsi manusiawi atas kenyataan. Kain kanvas telah
membeku-bakukan sebuah ‘otentisitas’.
Otentisitas
seperti kenangan. Pada bagian hidup tertentu ia membongkar sekian dukacita,
kala lain berganti sebagai batu asah agar kemanusian semakin utuh. Perjalanan
rantau dari kampung halaman menuju kampung asing untuk kemudian menjadi intim,
lantaran gebalau politik pada satu zaman paling histeria, mesti angkat koper
mencari kampung baru adalah petunjuk sederhana bagaimana menemukan sejumlah
garis bermutu untuk sketsa-sketsa para pemula. Hingga kelana berhenti pada tepi
bingkai. Tak lagi bisa mengelak apatah menjauh, segala peristiwa yang tiba
mesti bermuka-muka, bersoal-jawab, atau sekadar menyapa anak-anak muda
pergerakan 1998 yang sibuk seperti spanduk dipukul angin, lalu kembali lenyap
dalam sapuan warna-warna khas dan unik.
Persis
perilaku Pelagia Nilovna dalam novel “Ibunda” milik Maxim Gorky. Menjaga
otentisitas dalam amuk revolusi.
Dan karya
seni sanggup bertahan, lebih sering disebabkan oleh eksistensi ruang dan waktu
yang menyatu dalam sejarah penciptaan dan pertaruhan jiwa kreator. Totalitas
yang memacu ‘originalitas’ karya yang tak bisa diulang, direkayasa, kecuali
dipalsukan. Perihal ini pernah diretas seorang pemuka Mazhab Frankfurt; Walter
Benjamin, dalam esai “Das Kunstwerk im Zeitalter seiner Technischen
Reproduzierbarkeit”(1936), dimana muasal kata ‘aura’ menajam untuk mendedah
bahwa pada mulanya karya seni lekat dengan tradisi spiritualisme. Bahwa proses
kesenian hampir sepadan ritus, mengasah otentisitas untuk meruangkan aura
sehingga produksi karya seni mendapat otoritas, tak mampu ditiru.
Sirna aura
dan otensitas dalam segala tindakan dan karya seni kelak tiba sejalan
perkembangan teknologi reproduksi mekanik. Kebutuhan hidup yang meluap, dari
kantor sampai kakus rumah tangga, dalam waktu yang berlari, mendesak satu
kebudayaan reproduksi massal tanpa jeda. Fotografi dan mesin cetak menggeser
lukisan dan manuskrip, begitu masif memindahkan kerja tangan pada mata-lensa
dan deret huruf-huruf digital-metalik. Tak pelak, semua boleh melukis tanpa
kuas pengaduk warna, amat mudah kini mencetak buku tanpa mencelup tinta.
Kerja-kerja kebudayaan mekanik kemudian mengepak seribu eksemplar karya
reproduktif dalam sekian detik, dan secepat itu jua membuat fana. Retak tak
hendak menuju klasik, sebab otentisitas dan aura raib.
Kata
Benjamin, reproduksi mekanik zaman industrial menggerus reaksi publik dari
reflektif menjadi progresif, saat karya seni menjadi pertunjukanyang akhirnya
saling bernego politis dengan penonton. Kata kita, reproduksi bahkan menebalkan
pesona kapitalistik. Teater kalah oleh kejutan budaya televisi, musik dalam
balutan sound-programing, mitos auratik ‘taritangan seribu’ jika dimainkan
lebih seribu penari mampu mengubah aroma kontemplatif menjadi tari kreasi baru
yang progresif, mungkin berjuluk ‘tari tangan sejuta”. Kasus serupa pada tari
Seudati massal atau poster-poster yang mencetak lukisan para maestro. Atau
seruan keagamaan yang direproduksi dalam baliho dan spanduk setiap simpang
kota, padahal kita yakin aura dan otentisitas nilai agama bersemayam dalam
teladan dan sikap jiwa yang “makarimal akhlaq” setiap warga. Spiritualitas seni
dan agama ditantang serius oleh zaman reproduksi mekanik.
Seorang
pelukis nasional Aceh, pemilik otentik lukisan pohonan dalam rimba bertajuk “Leuser”
di atas, otodidak tanpa keluh menyelamatkan totalitas kemanusiaan dalam karya
seni meski zaman reproduksi fotografis tiba juga di studionya. Ia terima,
bermuka-muka, lantas dengan kamera kodak ia rekam peristiwa sebagai dokumen.
Gambar dicetak untuk dituangkan dalam kanvas demi kenangan auratik pelukis
menyatu dalam peristiwa, menjadi karya seni. Musibah ombak raya 2004 meratakan
studio, menyeret lukisan ke dasar laut sekaligus menghempas jauh tubuh tua itu
bersama unggun-timbun sampah. Ia selamat dan menempuh ‘umur kedua’ bersama
harta sisa ombak di pojok studio; cat, kuas dan kacamata. Fantastis! Tak lama
jeda, tumpah beruntun kesaksiannya tentang tragedi itu, antara lain bertajuk;
“The Last Port of the Ark of Tsunami”, “We Got the Fish Today”, God, Help My
Daughter!”. Pada 25 Januari 2015, Round Kelana pun berpulang.
* Fauzan
Santa, pekerja teater , berkumpul di Seuramo Teater Aceh.
sumber: aceh.tribunnews.com
foto : arsip.galeri-nasional.or.id