Slider

Jumat, 30 Januari 2015
0 komentar

Film dan Aktivisme Kezele

16:11





Putra Hidayatullah
“COBA nyanyikan lagu kebangsaan!”, bentak seorang tentara. Dengan suara terbata-bata laki-laki itu mulai bernyanyi. Keringat mengalir di sekujur wajahnya. Tak lama kemudian, dor, sebutir peluru menembus tengkoraknya. Ia roboh ke dalam sungai.

Pemandangan itulah yang muncul di awal-awal film Die Brücke am Ibar, sebuah film Jerman yang terbit tahun 2012. Menonton film ini ibarat memandang dengan teleskop. Ia meneropong belahan bumi lain yang tidak sepi dari suara tembakan, dan wajah orang-orang yang berkabung.

Film ini mengambil Serbia dan Albania sebagai latar perkabungan. Konflik politik, identitas, dan isu nasionalisme mewarnai dua wilayah di Semenanjung Balkan itu. Konon ketegangan dimulai kembali sejak 1980an. Pada 1998 Pasukan Pembebasan Kosovo (Kosovo Liberation Army), memberontak untuk merdeka dari Serbia. Sebagai jawaban, tentara Serbia membantai puluhan ribu orang Albania. Di saat bersamaan 1.500 orang Serbia ikut tewas.

Bagaimana orang Serbia memandang Albania dan bagaimana orang Albania memandang Serbia tergambar jelas dalam film ini. Kebencian hingga rasa jijik antara satu sama lain mewarnai kehidupan orang-orang di kedua wilayah itu.

Cerita digerakkan oleh karakter utama, seorang lelaki Albania bernama Ramiz. Ia menyeberangi sungai, melarikan diri dari cengkeraman tentara Serbia. Nasib kemudian membawanya ke kawasan yang lebih naas yaitu wilayah Serbia.

Di sana pati film mulai terasa. Ramiz bertemu dengan Danica, seorang perempuan Serbia. Suami Danica telah meninggal di tangan pasukan Albania. Keadaan itu membuat ia harus tinggal dengan dua anaknya yang masih bocah.

Pada titik ini, Danica mengalami semacam ketegangan batin. Pertama rasa kemanusiaan mendorongnya untuk menolong Ramiz yang terluka terkena peluru, di sisi lain, Ramiz adalah orang Albania. Dan orang-orang Albania telah merenggut nyawa suaminya.

Pilihan untuk memihak kepada kemanusiaan tentu tidak mudah. Mengisi jiwa dengan kebencian selalu menjadi pilihan mereka yang sedang berseteru. Namun Danica tampak melawan arus besar. Danica memilih menolong dan merawat Ramiz.

Perempuan itu ditampilkan sebagai sosok yang sadar akan kekejaman dan kerugian akibat perang. Setiap melihat Danilo-anak bungsunya-bermain perang-perangan dengan bocah lain, Danica merajuk, “I hate it when they play war”, aku benci melihat mereka bermain perang-perangan. Seolah tersirat dari sikap Danica itu, ia ingin memutuskan mata rantai kebencian dan perang di benak anak-anaknya sebagai generasi penerus.

Film adalah bahasa. Dan bahasa dituturkan untuk mencapai sebuah maksud. Ada percampuran dua unsur penting dalam film ini: kenyataan dan rekaan. Perang antara Serbia dan Albania merupakan kenyataan. Sementara tokoh utama film-Ramiz dan Danica-adalah rekaan. Tokoh rekaan ini menjadi perangkat atau bahasa yang menyampaikan tanggapan sutradara terhadap kenyataan.

Michaela Kezele adalah perempuan yang menyutradarai Die Brücke am Ibar. Kezele menghabiskan masa kecilnya di Serbia. Sebelum kemudian pindah ke Jerman hingga ia belajar film. Tentu tidak mudah bagi seorang keturunan Serbia membuat film yang dengan jernih menggambarkan kekejaman yang dilakukan bangsanya sendiri.

Poin besar film ini adalah kemampuan Michaela Kezele berdiri pada titik keseimbangan. Ia tidak menggunakan film sebagai alat untuk menjelek-jelekkan satu pihak. Dalam Die Brücke am Ibar ia tampak pukul rata. Alih-alih memihak pada satu di antara dua golongan yang bertikai, Kezele menawarkan jalan lain yang jarang tersentuh, jalan kemanusiaan.

Seorang sutradara seperti Kezele sadar akan kekuatan seni. Ia tidak menjadikan seni semata-mata alat untuk hiburan dan keindahan, tapi memainkan peran seni untuk kritik bahkan sebagai alat untuk rekonsiliasi. Dengan kata lain ARTIVISME; menggabungkan kegiatan seni (Art) dengan aktivisme (Activism).

Film adalah kumpulan gambar bergerak yang tidak hanya menghibur tapi membangun persepsi tertentu dalam benak kita. Misalnya film G-30 S PKI karya Arifin C. Noer yang meninggalkan gambaran tentang PKI dalam pikiran generasi 90-an ke bawah. Gambaran itu mengakar dan kemudian mempengaruhi cara kita bersikap dan bertindak.

Beda dengan Arifin, Michaele Kezele tidak menjadikan film sebagai propaganda untuk mengukuhkan kekuasaan. Sebaliknya, melalui film ia mencoba meruntuhkan persepsi lama orang Serbia terhadap Albania dan juga sebaliknya. Kezele menyentuh tepat ke inti, memperbaiki persepsi yang telah diwarnai oleh kebencian.

Sosok Danica tampak seperti cerminan dari Kezele sendiri. Ia bertindak dan mengucapkan kata-kata yang seolah-olah ingin diucapkan oleh Kezele. Bisa dibilang Danica-sekaligus keseluruhanDie Brucke Am Ibar adalah lidahnya Michaele Kezele. Dan dengan lidah itu Kezele berbicara.

Sebagaimana lidah yang terkadang tak luput dari silap, terdapat beberapa adegan kecil dan sekuen plot yang tampak belum begitu logis. Namun itu tertutup oleh isu aktual dan tugas kemanusiaan yang begitu mewarnai karya Kezele.

Di penghujung film, tampak seorang tetangga mendekati Danica. Ia menghasut kembali. Dan tanpa rasa takut Danica berkata, “Dengan dua anak yang harus kubesarkan, aku tidak punya waktu untuk saling membenci.”

Danica keluar dari keumuman. Ia memilih nurani.

* Putra Hidayatullah; penikmat sastra, bermukim di Banda Aceh.

sumber: aceh.tribunnews.com
foto:  telepool.de

Berita Terbaru

 
Top