![]() |
Moritza Thaher dan Fauzan Santa di sesi diskusi |
Film dokumenter
berjudul asli “Ali Farka Touré – Le miel n’est jamais bon dans une seule
bouche” ini mengikuti perjalanan Ali ‘Farka’ Touré (31 Oktober 1939 – 7 Maret
2006) saat dia kembali ke rumahnya dan ke akar musiknya di Niafunké, Mali.
Lahir dengan nama Ali Ibrahim Touré, dia telah memenangkan Grammy Award dua
kali.
Ali Ibrahim
‘Farka’ Touré adalah warga negara Mali. Penyanyi dan gitaris legendaris dari
Afrika ini juga bisa memainkan banyak instrumen musik lainnya. Touré tercatat
sebagai salah satu musisi dari benua Afrika yang paling dikenal secara
internasional. Musiknya adalah campuran antara musik tradisional Mali dan musik
blues Amerika Utara. Majalah Rolling Stone menempatkannya pada posisi 76 di
daftar “100 Gitaris Terbesar Sepanjang Masa”, sedangkan majalah Spin
menempatkannya di posisi ke 37 untuk daftar yang sama.
Moritza Thaher,
pendiri dan Kepala Sekolah Musik Moritza, menjadi pembicara pada pemutaran dan
diskusi film Perancis produksi tahun 2002 “A Visit to Ali Farka Touré”, yang
disutradarai oleh Marc Huraux. Acara ini berlangsung di Episentrum Ulee Kareng
Jl. Tgk. Menara VIII, No. 8, Garot, Aceh Besar, Rabu (24/9), pukul 16.00 WIB.
Touré melihat
sosoknya sekarang sebagai petani dan pecinta keluarga, yang mencoba
meningkatkan kondisi agrikultur dan sosial di Timbuktu. Tempat ini sangat
berkekurangan. Touré dikenal sebagai legenda terutama dalam menghubungkan musik
blues Amerika dan musik gitar asli di Mali. Dia akhirnya mempopulerkan aliran
yang dikenal sebagai Blues Mali.
Setelah pemutaran
film, Moritza Thaher memaparkan beberapa aspek yang bisa dipetik dari film
tersebut untuk mengembang musik di Aceh. Diantaranya adalah kekuatan bahasa,
pengucapan, logat, pembunyian serta cara memainkan instrumen yang bisa
menimbulkan asosiasi bagi otak manusia tentang dari mana musik itu berasal.
Walaupun musik blues berasal dari Amerika Utara, tapi dari tenggorokan dan jari
jemari Touré musik blues terdengar seperti berasal dari Mali. Bahkan Martin
Scorsese, salah seorang sutradara film Amerika Serikat menyebut gaya musik
Touré sebagai “DNA-nya musik blues”.
Hal yang sama
juga terjadi di Sumatera Utara. Jika mendengar orang melayu memainkan
accordion, orang-orang akan lupa bahwa instrumen tersebut sebenarnya berasal
dari Perancis dan Italia. Demikian juga dengan kesenian Nandong dari Simeulue
dan Sikambang dari Singkil yang memakai instrumen violin.
Salah seorang
peserta diskusi, Munzir, terpana menyaksikan bagaimana Ali Farka Touré
memainkan musiknya dan memimpikan hal yang sama bisa terjadi bagi musisi di
Aceh. “Itu karena dia dicintai oleh masyarakatnya. Jika di Aceh masyarakat
belum sanggup menghargai musisi hingga ke tingkat ‘salute’, setidaknya sedikit
apresiasi dari masyarakat akan membangkitkan semangat musisi Aceh untuk lebih
kreatif” katanya.
Bassis band
Inverno, Jefry Muntazier alias Tebonk malah menjadi heran ketika membanding
fasilitas untuk membuat rekaman musik di kampung Touré yang sangat minim
dibanding dengan fasilitas studio rekaman di Banda Aceh yang sudah sangat baik.
Di banda Aceh, fasilitas tersebut tidak dibarengi dengan semangat berkarya oleh
musisi-musisinya.
Beberapa peserta
diskusi lainnya seperti Desi, Mita, Zopan dan Yudi juga memaparkan pikiran
mereka setelah menonton film tersebut.
Acara ini
ditutup oleh Rektor Sekolah Menulis Dokarim, Fauzan Santa. Dia tidak menyangka
peserta kali ini membludak dibandingkan biasanya. “Mungkin tema film musik yang
menjadikannya menarik. Untuk itu pada edisi dibulan-bulan berikutnya kami akan
memutarkan film-film lain yang bertemakan musik”
Pemutaran film
ini diselenggarakan oleh Komunitas Tikar Pandan bekerja sama dengan Institut
Français Indonesia (IFI), Polyglot Indonesia-Chapter Aceh, ruangrupa, Liberty
Language Center, Aneuk Mulieng Publishing, Episentrum Ulee Kareng, Sekolah
Menulis Dokarim, Kedai Buku Dokarim, Metamorfosa Institute, Epicentrum
Entertainment, LPM Perspektif Unsyiah, Aliansi Jurnalis Independen Kota Banda
Aceh, Muharram Journalism College, Himpunan Mahasiswa Komunikasi Unsyiah,
IloveAceh, Banda Aceh Info, Infoscreening.
Penulis: Sekolah Musik Moritza/Moritza Thaher