Slider

Jumat, 10 April 2015
0 komentar

Satu Nafas dalam Dua Wajah

17:22


Azhari Aiyub

Tahun 2012 lalu  Prof. Margaret Kartomi, etnomusikolog dari Universitas Monash, menerbitkan buku Musical Journey in Sumatra. Buku setebal 472 halaman itu merupakan hasil perjalanan Margaret ke negeri-negeri di Pulau Sumatera selama 30 tahun melacak dan merekam pelbagai jenis seni pertunjukkan. Aceh mengambil tempat tersendiri dalam buku tersebut. 

Bagaimana seni hidup di Aceh? Melalui penjelasan tentang tari Pho dan permainan Rapai, dapat ditarik benang merah, bahwa  kesenian tradisi di Aceh tampil sebagai satu nafas yang sulit dipisahkan dengan Islam. Tanpa perantara apa pun, seperti perantara konsep kuratorial dalam seni pertunjukkan modern - biasanya untuk menjelaskan tujuan atau visi sebuah pertunjukkan - atau hanya dengan melihat tarian-tarian Aceh di atas pentas sudah menunjukkan orang Aceh sebagai Islam. 


Pelbagai komposisi gerak -  baik yang dibuat oleh laki-laki maupun perempuan - dalam sejumlah tari sekilas dibentuk bukan untuk seni, tapi untuk tujuan agama serta didorong oleh hasrat yang kuat membela kepentingan agama. Tapi pada saat yang sama,  tidak diragukan lagi  bahwa gerak tersebut merupakan gubahan atau prinsip yang lazim ditemui dalam praktik kesenian.

Menurut buku ini, ikatan tersebut bukan tidak pernah renggang. Pada masa pendudukan Belanda di Aceh, dua kelompok yang berpengaruh di Aceh waktu itu berupaya menampilkan hanya salah satu kepingannya. Di zaman itu, beberapa ulama berpengaruh menolak praktik kesenian. Mereka menolak seni ratapan yang dimainkan oleh perempuan serta menganggap penampilan perempuan di hadapan laki-laki dapat merangsang nafsu birahi. Prasangka seperti ini masih bertahan hingga sekarang, bahkan setelah beberapa jenis kesenian yang didaftar buku ini sudah tidak dimainkan lagi.

 Di sisi lain, kaum uleebalang terlibat begitu intim menggunakan jenis-jenis musik atau tarian tertentu untuk menyenangkan setumpu Belanda mereka. Sejumlah pertunjukkan diselenggarakan untuk memperingati momen-momen penting berdasarkan penanggalan kolonial. Pho, seni meratap,  contoh dari sukacita tersebut.  Kemeriahan dan ratapan harusnya dua hal yang sulit disatukan. 

Di tengah persaingan nilai antara ulama dan uleebalang, kesenian di Aceh waktu itu sesungguhnya sedang menghadapi tantangan yang paling penting dalam tradisinya. Pertama, bagaimana kesenian dapat bertahan dari tuduhan untuk tidak disebut sebagai pembawa bid’ah atau kufarat - setelah sebelumnya telah begitu baik disamarkan serta hadir dalam satu nafas dengan Islam. Kedua, mengatasi upaya moderasi yang dilakukan uleebalang dengan cara menyerapnya ke dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan propaganda kolonialisme, seperti proyek pasifikasi Snouck Hurgronje dan Jenderal van Heutz.  Buku ini sedikit banyak menjelaskan tahap-tahap tersebut. 

Sehubungan dengan situasi politik di Aceh di bawah kediktatoran Soeharto, Margaret menunjukkan pergulatan penting lain yang telah dilalui tari Pho. Di era 80-90-an -  dikenang  sebagai masa Operasi Jaring Merah yang brutal -Pho sudah jarang dimainkan di kampung-kampung. Padahal betapa banyak kematian waktu itu dan betapa berdukanya kampung-kampung saat pembasmian berlangsung dalam senyap. Tapi, di bawah Gubernur Ibrahim Hasan, Pho sempat ditunangkan dengan meriah selama masa kampanye Pemilihan Umum. 

Gambaran ini akan menolong kita menelaah lebih lanjut bagaimana kehidupan kesenian Aceh di bawah rezim Orde Baru serta bagaimana kesenian di Aceh menerima pengaruh tersebut hingga sekarang.

Margaret menyebutkan, dari tiga jenis musik ratapan yang ditelitinya, hanya Pho yang mengalami perubahan dan menjadi simbol resmi sebagai identitas perempuan Aceh hari ini (halaman 314). Di tengah upaya negara merumuskan identitas yang cocok untuk perempuan Aceh selama satu dasawarsa terakhir kesimpulan ini jelas bermanfaat. 

Sebaliknya Rapai hadir sebagai suatu identitas yang tidak tergoyahkan. Sebagai satu instrumen musik, sebagai benda, Rapai diarahkan sedemikian rupa oleh pemerintah menjadi satu identitas bersama yang diterima luas. Pho meniadakan instrumen dalam pertunjukkannya serta menekankan kekuataan sepenuhnya  pada suara. Penerimaan Rapai sebagai identitas dan bukannya suara perempuan bukan tanpa alasan. 

Pada bagian awal bab ini, Margaret menunjukkan sebuah bagan apa yang disebutnya sebagai “klasifikasi tari dan musik tradisional Aceh”. Pengelompokkan ini adalah hukum tak tertulis dalam permainan tari dan musik di Aceh. Bagan tersebut  bila dilihat sekilas seolah tampak sederhana, namun bila diperhatikan lebih seksama akan menjelaskan pembagian (antara tari laki-laki dan perempuan) ini tercipta tidak dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh pandangan tentang tubuh perempuan di muka umum.  

Menurut buku ini, Pho diilhami sebuah epik terkenal, Hikayat Pocut Muhammad. Hikayat ini bercerita tentang negeri Aceh yang sedang kacau dan tanpa hukum. Kekacauan itu disebabkan oleh Jamaloialam, seorang penguasa pelabuhan serta sepenuhnya mewakili watak pedagang yang culas.  Raja Muda tidak berdaya menghadapi tindak tanduk Jamaloialam dan berada di bawah bayang-bayangnya. “Hantom di gob, na di geutanyoe. Saboh nanggroe dua raja” merupakan kalimat terkenal dari epik ini.

 Adik Raja Muda, Potjut Muhammad yang sebelumnya tidak begitu berperan, tampil ke permukaan dan berhasrat mengendalikan keadaan. Lalu Potjut Muhammad mencari bantuan ke seluruh penjuru negeri. Bentara Keumangan dari Pidie salah satunya. Tapi, Bentara Keumangan menghadapi dilema pelik, Jamaloialam pernah menolongnya. Melupakan balas budi, Bentara Keuamangan menyokong Potjut Muhammad. Bentara Keumangan yang tidak tahu balas budi itu binasa dalam perang dan  Pho mengambil momen kematiannya sebagai puncak  ratapan.  

Para pelayat digambarkan mengitari mayat Bentara Keumangan sambil meratap dan memukuli dada mereka dengan kasar dan  “mengingatkan akan pemukulan dada yang dilakukan oleh pengikut Syiah pada bulan Muharam di India, Iran dan Irak” (halaman 301). 

Rapai berbeda dari kisah tersebut. Rapai tidak lahir dari perselisihan dan pengkhianatan. Narasi tentang Rapai disusun berdasarkan citra kosmopolit Aceh akibat pergaulan dengan dunia luar.  

Bagaimana kesenian menyesuiakan diri dalam setiap gejolak politik di Aceh, menemukan bentuk yang paling tidak dapat dipertanggungjawabkan  ketika puluhan tahun kemudian beberapa pemuka kesenian di Aceh berupaya merumuskan kembali dirinya di hadapan Islam yang semakin peka. Akhir 90-an, menjelang berakhirnya kediktatoran Orde Baru, pemuka seniman Aceh berusaha menjelaskan kategori kesenian berdasarkan dua jenis. Kesenian Islam dan Kesenian yang Bernafaskan Islam. Sekilas dua kategori ini tidak ada bedanya serta mudah dibaca sebagai penyiasatan. 

Menurut para pemuka ini, yang mereka sebut dengan Kesenian Islam ialah lagu-lagu dan tarian tradisional yang berlandaskan nilai-nilai moral dan pesan agama. Adapun jenis kedua, seni tidak mesti menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Asalkan suatu bentuk kesenian diawali dengan prosedur yang lazim dalam tatacara keagamaan serta menggunakan busana islami dapatlah dimasukkan dalam kelompok kedua, sekalipun temanya adalah cinta, propaganda pembangunan dan keindahan alam. Nafas di sini telah direduksi menjadi kata benda, bukan lagi sebagai kata kerja. 

Margaret telah menggambarkan satu perjalanan panjang dalam merekam musik di Pulau Sumatra. Bagi Aceh buku ini penting dalam melihat kembali apakah masih terdapat peninggalan paling menggetarkan dari kesenian Aceh: leburnya antara Islam dan seni -  sehingga sulit dibedakan apakah suatu kelompok di atas panggung sedang menyiarkan suara Islam atau sedang memainkan sebuah bentuk kesenian. Atau yang bertahan tinggal satu wajah.  

* Azhari  Aiyub,  pengasuh rubrik budaya di harian Serambi Indonesia

sumber: aceh.tribunnews.com
foto:  amazon.com

Berita Terbaru

 
Top