SEEKOR harimau tidak akan
berteriak mengatakan dirinya harimau, tapi dia menerkam. Frasa di atas menjadi
terkenal di dunia sastra era 60-an ketika Wole Soyinka, penyair dan penulis
naskah drama Nigeria, menggunakannya dalam salah satu esainya untuk menyerang
sifat percaya diri golongan Negritude. Negritude merupakan suatu paham yang mekar
tahun 30-an dan dipelopori oleh sastrawan dan intelektual kulit hitam Afrika
dan Karibia yang bermukim di Prancis.
Para pencetus gerakan ini seperti
penyair Aimé Césaire kelahiran Martinique, Léon Damas kelahiran Guyana-Prancis,
dan Léopold Sédar Senghor kelahiran dan belakangan menjadi Presiden Senegal,
adalah wajah baru orang kulit hitam yang bertemu kembali di Paris setelah
dipisahkan dan dihancurkan masalalu mereka oleh perdagangan budak
trans-Atlantik selama berabad-abad.
Dalam sastra pertemuan kembali
ini mereka sebut franchophone, sikap penolakan untuk dikelompokan sebagai
penulis yang berasal dari koloni sebagaimana kecenderungan rasial zaman itu
serta pernyataan menjadi sejajar dengan penulis-penulis berbahasa ibu Prancis.
Dalam politik, Negritude menentang dominasi ide-ide Barat; menyerukan untuk
berpaling kembali kepada kemuliaan tradisi, sejarah, dan kepercayaan Afrika
yang telah menjadi begitu hina dan direndahkan dalam terungku rumusan
imperialisme Eropa. Dapat dikata Negritude adalah gerakan penemuan kembali
identitas Afrika yang telah tercerai-berai.
Apa yang kemudian dikritik oleh
Soyinka dari persatuan penulis Afrika diaspora ini adalah kecenderungan mereka
dalam memutus apa pun bentuk-bentuk pengetahuan yang datang dari Barat, dan
tekad untuk hanya menimba gagasan dari sumur tradisi Afrika. Soyinka menolak
pembatasan seperti itu. Dia ingin berdiri pada banyak sisi secara leluasa serta
tidak terjebak pada salah satu daya tarik.
Dalam siasat kesusasteraan
Soyinka, khasanah-khasanah dari benua lain sama terhormatnya dengan tradisi
Afrika. Mungkin kekayaan tradisi Afrika adalah jiwa dari karya-karyanya, adapun
bagaimana karya itu terlihat adalah hasil dari pertemuannya dengan pelbagai
bentuk atau gaya yang telah berakar kuat di belahan dunia lain.
Ketika esai tentang harimau semu
ini dilontarkan sesungguhnya sasaran tembak Soyinka bukan hanya tertuju kepada
kelompok avant-garde Paris tersebut, melainkan juga kepada situasi politik di
Afrika secara umum. Waktu itu, kecenderungan untuk menjadi Negritude juga marak
di luar lapangan kesusasteraan dan membius kaum politikus setelah penjajah
kulit putih meninggalkan mereka sendirian.
Para politikus mencela perilaku
bekas penjajah yang buas, rasis dan korup, tapi tidak lama kemudian meniru
perilaku ini dengan melancarkan pembunuhan terhadap bangsa sendiri serta
menetapkan standar baru terhadap rasialisme. Apa yang membedakan pengulangan
kekejaman ini adalah, kini diterapkan di atas altar kemuliaan yang sebelumnya
tidak bisa diraih di bawah standar penilaian orang kulit putih.
Bagi Soyinka kemulian Afrika
tidak hadir dalam wujud seperti itu; harimau Afrika tidak memiliki wajah ganda.
Dia mencontohkan Nelson Mandela sebagai harimau Afrika sejati, yang tidak
pernah menyatakan dirinya Negritude, tapi bertindak layaknya seorang Negritude.
Gerakan Negritude mungkin telah
gagal di lapangan politik, tapi tidak di bidang kesusasteraan. Meskipun Soyinka
menolak gagasan Negritude dan para pendukung aliran ini balas mengecamnya
sebagai seekor kucing manis yang terbujuk oleh teknik-teknik menulis dari
Barat, penulis Aimé Césaire dan Léon Damas adalah penyokong utama Soyinka
sebagai calon kuat penerima hadiah Nobel waktu itu.
Tahun 1986 Soyinka menjadi
penulis kulit hitam pertama yang mendapatkan anugerah tersebut. Tidak ada
keraguan bahwa mutu karya Soyinka sendirilah yang telah mengantarnya ke
singgasana tersebut, tapi Nobel adalah anugerah yang tidak dapat dipisahkan
dari politik. Enam tahun kemudian giliran Derek Walcott, penyair St. Lucia
(Karibia), diganjar hadiah tersebut. Toni Morrison, novelis kulit hitam
Amerika, meraihnya pada 1993.
Dengan mengesampingkan Nadine
Gordimer, penulis Afrika Selatan keturunan Yahudi yang menerima Nobel
setahun sebelum Walcott, Robert Elliot Fox, seorang ahli sastra Afrika modern,
menyebut siklus ini seperti jalur yang mengikuti jejak diaspora Afrika dan
Afrika-Amerika. Lebuh ini ibarat lintasan kapal budak Afrika yang mengarungi
Laut Atlantik. Jalur yang sangat terikat oleh masalalu yang begitu kelam; titik
tolak dari mana segenap tradisi tersebut dimulai.
Dimulai dari Afrika –
jantung kesengsaraan, penghisapan, sumber budak-belian – ditumpahkan oleh
keserakahan imperialiasme di perkebunan-perkebunan tebu dan tembakau di
Kepulauan Karibia, dan terus menuju Amerika daratan tempat terakhir budak-budak
berlabuh bersama Dunia Baru tanpa janji dan harapan kecuali kepiluan. Warisan
yang menggetarkan ini mengingatkan kita tentang bagaimana cara penyebaran
penyakit-penyakit mematikan dewasa ini, dalam hal ini menyebar untuk menulari
dan mejangkiti tradisi-tradisi lain yang kadangkala menganggap dirinya lebih
agung.
Bulan ini kita kehilangan seorang
penyair Ghana paling penting dari lintasan ini, Kofi Awoonor (1935-2013).
Awoonor merupakan salah seorang korban pada hari jahanam penyerbuan mal
Westgate di Nairobi oleh teroris. Duka cita yang paling dalam.
sumber foto: newsrescue.com