Slider

Jumat, 10 April 2015
0 komentar

Kofi Awoonor

17:33



Azhari Aiyub
 
SEEKOR harimau tidak akan berteriak mengatakan dirinya harimau, tapi dia menerkam. Frasa di atas menjadi terkenal di dunia sastra era 60-an ketika Wole Soyinka, penyair dan penulis naskah drama Nigeria, menggunakannya dalam salah satu esainya untuk menyerang sifat percaya diri golongan Negritude. Negritude merupakan suatu paham yang mekar tahun 30-an dan dipelopori oleh sastrawan dan intelektual kulit hitam Afrika dan Karibia yang bermukim di Prancis.

Para pencetus gerakan ini seperti penyair Aimé Césaire kelahiran Martinique, Léon Damas kelahiran Guyana-Prancis, dan Léopold Sédar Senghor kelahiran dan belakangan menjadi Presiden Senegal, adalah wajah baru orang kulit hitam yang bertemu kembali di Paris setelah dipisahkan dan dihancurkan masalalu mereka oleh perdagangan budak trans-Atlantik selama berabad-abad.

Dalam sastra pertemuan kembali ini mereka sebut franchophone, sikap penolakan untuk dikelompokan sebagai penulis yang berasal dari koloni sebagaimana kecenderungan rasial zaman itu serta pernyataan menjadi sejajar dengan penulis-penulis berbahasa ibu Prancis. Dalam politik, Negritude menentang dominasi ide-ide Barat; menyerukan untuk berpaling kembali kepada kemuliaan tradisi, sejarah, dan kepercayaan Afrika yang telah menjadi begitu hina dan direndahkan dalam terungku rumusan imperialisme Eropa. Dapat dikata Negritude adalah gerakan penemuan kembali identitas Afrika yang telah tercerai-berai.

Apa yang kemudian dikritik oleh Soyinka dari persatuan penulis Afrika diaspora ini adalah kecenderungan mereka dalam memutus apa pun bentuk-bentuk pengetahuan yang datang dari Barat, dan tekad untuk hanya menimba gagasan dari sumur tradisi Afrika. Soyinka menolak pembatasan seperti itu. Dia ingin berdiri pada banyak sisi secara leluasa serta tidak terjebak pada salah satu daya tarik.

Dalam siasat kesusasteraan Soyinka, khasanah-khasanah dari benua lain sama terhormatnya dengan tradisi Afrika. Mungkin kekayaan tradisi Afrika adalah jiwa dari karya-karyanya, adapun bagaimana karya itu terlihat adalah hasil dari pertemuannya dengan pelbagai bentuk atau gaya yang telah berakar kuat di belahan dunia lain. 

Ketika esai tentang harimau semu ini dilontarkan sesungguhnya sasaran tembak Soyinka bukan hanya tertuju kepada kelompok avant-garde Paris tersebut, melainkan juga kepada situasi politik di Afrika secara umum. Waktu itu, kecenderungan untuk menjadi Negritude juga marak di luar lapangan kesusasteraan dan membius kaum politikus setelah penjajah kulit putih meninggalkan mereka sendirian. 

Para politikus mencela perilaku bekas penjajah yang buas, rasis dan korup, tapi tidak lama kemudian meniru perilaku ini dengan melancarkan pembunuhan terhadap bangsa sendiri serta menetapkan standar baru terhadap rasialisme. Apa yang membedakan pengulangan kekejaman ini adalah, kini diterapkan di atas altar kemuliaan yang sebelumnya tidak bisa diraih di bawah standar penilaian orang kulit putih. 

Bagi Soyinka kemulian Afrika tidak hadir dalam wujud seperti itu; harimau Afrika tidak memiliki wajah ganda. Dia mencontohkan Nelson Mandela sebagai harimau Afrika sejati, yang tidak pernah menyatakan dirinya Negritude, tapi bertindak layaknya seorang Negritude.

Gerakan Negritude mungkin telah gagal di lapangan politik, tapi tidak di bidang kesusasteraan. Meskipun Soyinka menolak gagasan Negritude dan para pendukung aliran ini balas mengecamnya sebagai seekor kucing manis yang terbujuk oleh teknik-teknik menulis dari Barat, penulis Aimé Césaire dan Léon Damas adalah penyokong utama Soyinka sebagai calon kuat penerima hadiah Nobel waktu itu. 

Tahun 1986 Soyinka menjadi penulis kulit hitam pertama yang mendapatkan anugerah tersebut. Tidak ada keraguan bahwa mutu karya Soyinka sendirilah yang telah mengantarnya ke singgasana tersebut, tapi Nobel adalah anugerah yang tidak dapat dipisahkan dari politik. Enam tahun kemudian giliran Derek Walcott, penyair St. Lucia (Karibia), diganjar hadiah tersebut. Toni Morrison, novelis kulit hitam Amerika, meraihnya pada 1993. 

Dengan mengesampingkan Nadine Gordimer,  penulis Afrika Selatan keturunan Yahudi yang menerima Nobel setahun sebelum Walcott, Robert Elliot Fox, seorang ahli sastra Afrika modern, menyebut siklus ini seperti jalur yang mengikuti jejak diaspora Afrika dan Afrika-Amerika. Lebuh ini ibarat lintasan kapal budak Afrika yang mengarungi Laut Atlantik. Jalur yang sangat terikat oleh masalalu yang begitu kelam; titik tolak dari mana segenap tradisi tersebut dimulai.
Dimulai dari Afrika –  jantung kesengsaraan, penghisapan, sumber budak-belian –  ditumpahkan oleh keserakahan imperialiasme di perkebunan-perkebunan tebu dan tembakau di Kepulauan Karibia, dan terus menuju Amerika daratan tempat terakhir budak-budak berlabuh bersama Dunia Baru tanpa janji dan harapan kecuali kepiluan. Warisan yang menggetarkan ini mengingatkan kita tentang bagaimana cara penyebaran penyakit-penyakit mematikan dewasa ini, dalam hal ini menyebar untuk menulari dan mejangkiti tradisi-tradisi lain yang kadangkala menganggap dirinya lebih agung.

Bulan ini kita kehilangan seorang penyair Ghana paling penting dari lintasan ini, Kofi Awoonor (1935-2013). Awoonor merupakan salah seorang korban pada hari jahanam penyerbuan mal Westgate di Nairobi oleh teroris. Duka cita yang paling dalam. 

sumber foto: newsrescue.com

Berita Terbaru

 
Top