Slider

Jumat, 10 April 2015
0 komentar

Don Pablo, Kopi Itu…

17:19



(Dalam Kenangan: Anton Y. Kieting)

Fauzan Santa
SETELAH sekian lama, aku menulis lagi kepadamu. Untuk apa? Engkau hanya membuka lipatan, tak sekali pun membalas, bahkan sekadar selembar kertas kosong dengan selarik tekenan. Luar biasa! Engkau sedingin rumah pengasingan di pulau Capri.

Baiklah, yang penting segala tersurat sampai selamat padamu. Sebab ini kali sebuah kejutan menekan diri sampai jauh. Sepotong kabar, kawan kita, seorang pemain dan sutradara teater telah berpulang. Ia pemilik semangat tangguh masa kini untuk masa depan teater modern Aceh. Ia datang dari dataran tinggi Gayo, tempat biji-biji kopi terbaik di dunia tumbuh.

Karib itu Bambang Purwanto. Dia lahir di Takengon 38 tahun silam. Aku dan Bambang tumbuh dalam kemesraan teater ketika negeri kami dalam keadaan genting. Pemberontakan pecah, setelah beberapa waktu sebelumnya gerakan mahasiswa menjatuhkan para patriakh pada 1998. Aceh, negeri yang mungkin pernah melintas dalam benakmu saat engkau tiba sebagai Konsul Chile di Batavia, adalah satu dari sekian titik negeri ini dengan luka menyala.

Kami berlatih drama, musikalisasi puisi sambilberdidong di sela jeda jadwal kampus, di halaman asrama mahasiswa Laut Tawar Jogjakarta. Sebuah pertunjukan berhasil juga dalam kepulan asap di panggung arena Fakultas Sastra Unversitas Gadjah Mada bersama KaSUHA (Kelompok Seni untuk HAM Aceh) medio akhir 1999. Selepas itu kami berpisah lama, dan satu hal Don Pablo; kami sepakat hanya boleh berkeluh semata untuk perkara teater.

Teater telah membuka ruang bagi kehidupan itu sendiri. Teater bagus untuk membongkar kesadaran semu yang melilit ruang sosial dan mitos-mitos politik melalui efek pengasingan, Verfremdungseffekt, seperti kerja dramawan Jerman Bertolt Brecht. Sejenis kesetiaan yang aneh, mungkin paradoksal; bertahan pada satu dimensi dan sikap hidup, denganharapan dan pencapaian yang tak selesai-selesai.  Itulah kenapa teater mesti terus digelar sebagai kerja-kerja hidup tanpa pensiun.
 
Demi kesetiaan itu pula, setelah sekian lama, tsunami 2004 mempertemukan kami pada suatu hari. Sebelumnya aku dengar dia mementaskan beberapa repertoar drama bertema konflik Aceh. Dia telah mengubah namanya, menjadi Anton Y. Kieting dan nama itu melekat sampai akhir hayatnya. Mungkin nama baru itu terilhami dari nama seorang guru sastra yang keras kepala dalam film Dead Poets Society (1989), John Keating. Seperti juga Neftali Ricardo Reyes Basoalto yang melegenda setelah kau jumput nama penyair Cheko itu , Don Pablo.

Di Koodinatoriat Bangkit Aceh, sebuah perkumpulah relawan seniman Aceh pascatsunami, dia menjadi koodinator untuk Takengon dan sekitarnya. Kami bicara lagi. Kami saling mengingat kembali. Ia pemilik semangat untuk masa depan teater modern di Aceh dan hendak belajar lebih jauh perihal sejarah teater modern di Aceh yang belum begitu tua. Metode, bentuk, pola ungkap, dan ekpresi lokal paling tepat ia gali untuk mengisi ruang-ruang teater di Takengon.

Sampai juga ia menjadi seniman-mukim (artist in residency) selama beberapa bulan di Teater Koma, kelompok teater senior pimpinan Nano Riantiarno di Jakarta. Pergulatan teaternya mencipta pergerakan estetika drama yang simultan. Ia mendirikan Teater Merdeka di Takengon dan menjadi tempat pelabuhan gagasan-gagasan teater yang terbebaskan. Sejumlah produksi pertunjukan dan beberapa workshop teater untuk publik ikut membangunkan aktifitas kesenianmodern di kota itu.
Dia membina komunitas Teater Putih Universitas Gajah Putih hingga terlibat sebagai koordinator wilayah Takengon untuk jaringan kerja Seuramoe Teater Aceh; federasi sanggar teater se-Aceh hasil Arisan Teater Aceh pertama di Teater Rongsokan IAIN Ar-Raniry pada 2009.  Sesekali, jika pertunjukan muhibah kelompok teater lain bertandang, agenda pertama adalah mencari alamat sanggarnya untuk singgah tidur atau begadang meraut ide-ide dengan asupan kopi racikan bubuk terbaik. Itu ritus wajib kami, Don Pablo. Seperti Jean Genet dari Prancis dalam drama absurd Les Paravents (1964) yang tak luput kami takzimi; “waktu mengalir seperti kopi melewati saringan, dan di dalam saringan ia tertinggal sebagai sisa-sisa peristiwa”.

Terlampau singkat sekian perjumpaan kami untuk menghasilkan sebuah produksi teater bersama. Jarak dan mungkin kegiatan lain, telah menunda ide kerjasama kami. Dari kebun kopinya, kadang ia terus menghasut mengajakku melanjutkan produksi teater. Namun  selalu saja aku kalah membawa ide-ide itu ke atas panggung. Sendirian, ia melanglang kembali dengan  drama-monolog Kucing Hitam karya Edgar Allan Poe dan berpunca saat mewakili Aceh dalam Mimbar Teater Indonesia II pada 4-10 Oktober 2010 di Taman Budaya Solo. Barangkali ia sangat sadar bahwa kami takkan pernah berjumpa dalam satu panggung.

Baginya monolog adalah cara menjaga kehangatan dramatik di kotanya yang berhawa dingin. Percakapan dan humor kami pun kerap lebih banyak  ebagai ikhtiar merangsang potensi dramaturgi untuk monolog-monolog yang sudah ia siapkan. Pertemuan terakhir kami berlangsung beberapa hari setelah gempa di dataran tinggi itu. Ramadhan tahun lalu kami berbuka puasa bersama di Pasar Takengon. Kebetulan sutradara  film Riri Riza dan Mira Lesmana duduksatu meja. Kami berkumpul melingkar untuk  mereguk beragam jenis kopi racikan terbaik  Tanah Gayo. Bersulang-kabar, bertukar cerita.

Karibku, Don Pablo, cuma mencemaskan perkembangan teater di negeri kami. Fluktuasi proses teater selalu membayang, dukungan pemangku negeri serta merajalela mediasosial tanpa batas. Aku aminkan. Juga masa depan Arisan Teater Aceh yang sudah sejak lama akan dibikin di sana.

Bagaimanapun aku menyaksikan optimisma mengalir sebagai “kopi melewati saringan” di gurat wajahnya. Selalu begitu sejak pertama   kami suka  abuk puisi, dalam masa mudapenuh jadwal latihan hingga lampu pentas yang mendadak padam, lalu aktor pergi. Dunia kesenian Aceh kehilangan lagi, Don Pablo.

Kawan terbaik teater modern Aceh itu berpulang pada malam 5 Maret 2014. Dan serupa soneta-soneta cinta dari negerimu di selatan garis Khatulistiwa, di sini pun hikayat dan sebuku, juga drama-drama tragik-komedi tak jua raib karena peluh pemilik semangat itu berkilau di ingatan kami; ”aku akan tetap jadi penyair yang mengabarkan kesaksiaan/ pada setiap perjanjian/ karena kau pinta aku jadi bilal/ yang selalu  mengabarkan setiap perjanjian (Sajak Kepada Penyair -bagi Maskirbi, 2005). Selamat jalan, Bambang.

* Fauzan Santa, pekerja teater, berkumpul di Seuramoe Teater Aceh

sumber: aceh.tribunnews.com 
foto: Miles Film/Toto Prasetyo

Berita Terbaru

 
Top