Negeri-negeri lahir dari jantung para penyair, lalu makmur dan hancur di
tangan politisi (Mohammad Iqbal)
Kita baru saja meninggalkan
Desember yang hiruk dan sejumlah repetisi perayaan yang semakin kikuk. Sembilan
tahun sudah, tsunami telah mengambil banyak dari kita namun turut menyumbang
banyak, dari mengakumulasi kehilangan sekaligus memukul mundur ragam bentuk
kejahatan perang. Menjelang satu dekade, tentu bukan lagi kurun waktu yang
singkat untuk satu refleksi tentang perubahan, apa yang sudah, yang perlu, dan
apa yang tidak. Esai pendek ini akan gagal sejak awal jika berhasrat merangkum
semuanya. Alurnya saya kira juga anakronis, sebagai dalih gamangnya memori
bekerja setelah trauma.
Bagi sejumlah pemikir, bencana
dan penderitaan yang ditimbulkannya selalu memberi kemungkinan munculnya pola hubungan
baru dan juga, setidaknya dalam telaah Wittgenstein, “permainan kata.”
Kata “Aceh” kini digunakan
lebih sering dari zaman manapun sebelum kita, tercetak dimana-mana mulai dari
gerobak mie, partai politik, portal berita hingga pelengkap nama di jejaring
sosial media. Rasanya tidak sah kalau tidak ada kata Aceh dalam setiap frasa
yang digunakan. Begitu pentingnya hingga penjual mie mungkin takut mie-nya tidak
dianggap mie Aceh, atau seseorang mungkin khawatir tidak dikenali sebagai orang
Aceh, atau tidak cukup “Aceh” tanpa kata Aceh di belakang namanya. Kata dan
definisi Aceh dirayakan dengan cara yang belum pernah tercatat sebelumnya. Pada
tahun-tahun yang sulit, identitas bergaung sebagai bahasa melawan penindasan.
Namun setelah lepas dari waktu genting itu, identitas sebaliknya digunakan
untuk menindas. Identitas sangat menggelorakan semangat ketika menemu
konteksnya, namun mencemaskan ketika ia jatuh untuk menyempitkan pandangan. Kita
belum beruntung, karena hal kedua-lah yang kini menggerus kesadaran, terhimpun
dalam kenyataan politik sehari-hari dan cara beragama kita belakangan ini.
Sedikit sekali kini yang ingat bahwa dalam suasana berkabung pasca perang dan bencana, tubuh kita yang luka patah dipapah oleh penduduk dunia tanpa dipertanyakan suku bangsa kita dan beragama apa. Itu zaman orang-orang menggubah syair, tentang kehilangan, tentang harapan, tentang masa depan Aceh, dan iman yang tidak kehilangan rasa percaya dirinya. Sementara kini, sejumlah politisi dan aktivis yang tumbuh seiring dengan berkembangnya tenda ayam penyet di Kutaradja akan paling lantang melaknat segala sesuatu yang berbau asing. Tidak seperti yang diyakini para ahli, rasa sakit ternyata tidak terlalu banyak menyumbang bagi memori kita.
Triliunan derma memang
sanggup menyulap perwajahan mutakhir kota dan jalan-jalan, sebagaimana yang
kita saksikan sekarang. Namun yang luput kita bangun adalah kelompok sosial
yang kuat, yang oleh Habermas disebut sebagai “individu-individu rasional yang
terbebas dari kepentingan politik kuasa,” sebagai syarat imbangnya gerak menuju
masa depan.
Menjelang usai perkabungan, politik (lebih tepatnya politisi) bergerak lebih cepat dengan memonopoli bahasa publik melalui klaim-klaim mampu merepresentasikan keinginan paling mendasar dari masyarakat. Istilah-istilah seperti “kemanusiaan”, “kesetiakawanan” dan “kesetaraan” yang sebelumnya mengangkat kembali tubuh kita yang cedera dimangsa negara dan bencana, segera berubah menjadi “keistimewaan,” “kekhususan,” atau “keislaman” dalam makna yang sempit dan membelah. Politik terus menerus menuntut agar kita harus dipandang dan diperlakukan berbeda. Sementara agama digunakan sebagai dalih membatasi gerak pikir dan beda tafsir. Istilah-istilah di atas, yang di kamus sedianya bermakna positif, menjelma kata-kata dengan makna ambigu, bertujuan mereduksi dan manipulatif. Semua itu dimungkinkan karena kita punya kata “Aceh”, yang harus dipandang berbeda dan punya“ke-khusus-an.” Saya tidak meragukan bahawa dalam diplomasi politik center-periphery, kata-kata itu penting, tapi itu menjadi masalah ketika ia diadopsi serta menghegemoni di ruang dan bahasa publik.
Menjelang usai perkabungan, politik (lebih tepatnya politisi) bergerak lebih cepat dengan memonopoli bahasa publik melalui klaim-klaim mampu merepresentasikan keinginan paling mendasar dari masyarakat. Istilah-istilah seperti “kemanusiaan”, “kesetiakawanan” dan “kesetaraan” yang sebelumnya mengangkat kembali tubuh kita yang cedera dimangsa negara dan bencana, segera berubah menjadi “keistimewaan,” “kekhususan,” atau “keislaman” dalam makna yang sempit dan membelah. Politik terus menerus menuntut agar kita harus dipandang dan diperlakukan berbeda. Sementara agama digunakan sebagai dalih membatasi gerak pikir dan beda tafsir. Istilah-istilah di atas, yang di kamus sedianya bermakna positif, menjelma kata-kata dengan makna ambigu, bertujuan mereduksi dan manipulatif. Semua itu dimungkinkan karena kita punya kata “Aceh”, yang harus dipandang berbeda dan punya“ke-khusus-an.” Saya tidak meragukan bahawa dalam diplomasi politik center-periphery, kata-kata itu penting, tapi itu menjadi masalah ketika ia diadopsi serta menghegemoni di ruang dan bahasa publik.
Yang dilihat orang kemudian
dari kita adalah masyarakat yang paling sibuk mengeja
kembali identitas, sejarah
dan kebudayaan, apa
saja yang membuat kita harus tampak paling istimewa lalu
menerjemahkannya dalam praktik yang mengkhianati tujuan kita melawan yang
menindas kita di tahun-tahun yang sulit. Menyembelih orang yang dituduh sesat,
mencukur dan merendam anak punk, tidak boleh duduk mengangkang, meninju khatib
di atas mimbar, hingga bagi-bagi dana publik yang tidak perlu
dipertanggungjawabkan menjadi mungkin karena kita punya kata “Aceh,” sebagai pembenaran
karena kita khusus dan punya kelebihan. Satu anekdot membetot saraf ketawa saya
ketika seorang teman yang jenaka menceritakan bahwa bumi yang diyakini bulat
ternyata memiliki tonjolan jika dilihat dari bulan, dan di tonjolan itulah
hidup orang Aceh sebagai “bangsa
teuleubéeh ateuh rueng dônja.”
Kalimat italik ini pada satu
zaman mungkin punya daya guncang yang luar biasa, satu kalimat proklamatik dan
tafsir literal bagaimana Aceh memiliki kelebihan dibanding bangsa-bangsa lain
di dunia. Namun frasa heroik tersebut tidak lagi menemukan daya magisnya ketika
hari ini dihadapkan pada ancaman disintegrasi persaudaraan Aceh yang semakin
mengejang di ranah politik, sementara agama dalam banyak hal berhenti di
tataran simbolik dan kedaulatan sumber daya alam digadai ke tangan pemilik
modal. Ada yang absen di sini, kita akan kembali kepadanya beberapa saat lagi.
Tali Allah
Selain emas dan minyak,
sejarah adalah hal yang paling banyak digali di Aceh setelah tsunami. Tak ada
yang lebih tepat untuk menunjukkan bagaimana pentingnya sejarah bagi kita selain
keinginan politik yang begitu kuat untuk kembali pada kegemilangan masa lalu.
Sayang sekali tak ada mesin waktu, tak ada tradisi menyimpan arsip, hanya
tersisa sedikit manuskrip, sehingga sejarah yang kini muncul adalah klaim dari
mulut kepentingan. Sejarah tidak lagi sebagai pohon ilmu, tapi candu. Bagaimana
sejarah bisa digugu sangat tergantung siapa yang berbicara dan untuk
kepentingan apa, dan apa jadinya ketika ia bertemu dengan hasrat berkuasa.
Bahasan ini sudah melahirkan Ibnu Khaldun, Hegel, Nietzsche, Freud, Foucault
hingga Edward Said, dan kita tinggal membacanya. Tapi inilah problem terbesar
kita: pembacaan, lagi-lagi karena ada yang absen di sini.
Satu catatan penting
mengenai Aceh yang jarang sekali dibaca oleh orang Aceh sendiri adalah apa yang
ditulis James Siegel tentang kita era tahun 60-an. Era yang masih terjangkau
sumber-sumbernya dan nyaris sama dengan apa yang kita jalani kini. Siegel tiba
tahun 1962, saat Aceh juga sedang menata diri setelah perang, pejuang baru saja
turun gunung dan mulai hidup baru. Ia tepatnya menjadi orang kulit putih
pertama yang masuk dan tinggal di Aceh setelah zaman kolonial.
Daud Beureueh menyita
perhatiannya, tokoh yang menolak segala kemewahan yang
disediakan di Kutaraja dan memilih tinggal dekat dengan pengikutnya. Siegel
memberi judul bukunya The Rope of God, frasa
dari ayat Al-Quran yang paling sering dikutip Daud Beureueh ketika memberikan
ceramah, bahwa masyarakat Aceh hanya bersatu dengan senantiasa berpegang pada
“Tali Allah.” Buku itu dengan elegan membongkar kekeliruan etnografi kolonial karya Snouck
Hurgronje, lalu melacak evolusi Islam
dalam struktur sosial, perekonomian, tatanan keluarga dan kharisma kepemimpinan di
Aceh ketika itu. Kemampuan kita membendung penetrasi
kolonial, melawan ketidakadilan pemerintah pusat hingga menata hubungan kembali
dengan musuh, menurut Siegel, semua dilandasi
pemahaman yang baik terhadap dua istilah yakni akal dan hawa nafsu.
Hawa nafsu dalam
teks agama adalah asal mula dari segala cela yang dilakukan manusia. Akal diciptakan sebagai saringan, sebagai tali kekang hawa
nafsu. Akal, pada tahun 60-an,
tumbuh sejajar dengan pemahaman agama, yang diterjemahkan oleh masyarakat
dalam cara berbicara, bekerja dan membentuk struktur sosial dan politik. Bukan
tidak ada masalah atau konflik sosial yang dicatat, namun kesemuannya itu tetap
dalam bingkai sempurna atau tidaknya akal
dalam mengendalikan hawa nafsu. Akal sehat adalah determinan dan
resolusi menjawab pertanyaan umat tentang kemunduran kita, agama dan negara,
berbanding modernitas serta kuasa imperial Barat ketika itu. Daud Beureueh dan
kolega PUSA-nya berangkat dari sana.
Ketika akal belum sempurna maka hawa nafsu yang menjadi penggerak.
Seorang bayi, dalam analisis rinci Siegel tentang formasi keluarga, akan meminta apa saja, menangis seharian, minta perhatian hingga menumpuk apapun yang bahkan tidak dibutuhkannya. Tangisan itu kerap dituruti
berjam-jam, bahkan seharian. Itu adalah hal yang lumrah di rumah-rumah yang
memiliki anak kecil, menangis dan tidak didiamkan. Itulah hak dia sebagai yang belum sempurna akalnya. Orang dewasa (rasional) akan mengalah dan memahami suara lengkingan itu
sebagai bagian dari proses tumbuhnya akal. Namun ada tahap-tahap yang tidak lepas dari kesadaran
anggota keluarga untuk mengawal tumbuh kembangnya
akal. Proses menyeimbangkan antara akal
dan hawa nafsu adalah proses yang
terus menerus menjadi perekat dan membangun apa yang hari ini kita sebut dengan
istilah masyarakat. Masyarakat menuntun dan melindungi fase-fase hingga
sempurna tumbuhnya akal dengan selalu berpegang pada “Tali Allah”, yang pada
kalimat penutup buku ditulis Siegel sebagai “tali yang tak pernah rapuh karena
hujan dan tak pernah lepuh karena matahari.”
Membaca kembali Siegel, saya berharap kita menangkap apa yang
absen sekarang ini, mungkin
menyelamatkan kita dari frustasi melihat relasi politik kontemporer sekaligus melatih kembali kemampuan kita berpartisipasi dalam masyarakat Aceh yang baru saja tumbuh kembali bersama problem akal dan hawa nafsu-nya. Setelah tsunami, Siegel mungkin mengenali bahwa hawa nafsu kini diartikulasikan sebagai “hak”, namun saya kira ia juga bisa menerima bahwa trend bergantung pada satu
dua sosok seperti Daud Beureueh di tahun 60-an juga sudah tidak lagi menemukan
konteksnya. Di abad setelah era modernitas rubuh, yang dituntut adalah tanggung
jawab individual dalam membangun fungsinya sebagai bagian dari kelompok sosial.
Kegagalan membangun akal dan tanggung jawab menggiring kita menjadi penuntut, dengan tingkatan yang
berbeda-beda: jatah terhadap apa yang kita sebut sebagai hak perdamaian, hak tsunami, hak identitas, hak politik, hak
agama dan sebagainya. Hak, kata yang dipinjam dari bahasa Arab yang memiliki
makna “benar”, menjadi hawa nafsu tanpa kendali akal ketika orang merasa benar melakukan apa saja dari mencakar,
membabat, menghancurkan fasilitas negara, hingga membunuh jika merasa haknya tidak diberikan. Sementara
di sisi lain sebagian orang menumpuk sesuatu di luar kebutuhan. Tanpa rasa cukup, yang tidak bisa
dinalar karena akal belum tumbuh dengan sempurna.
“Tali Allah” adalah catatan
tahun 60-an sebelum Orde Baru memutuskan tautan itu, merebut ulama dari rakyat
dan melakukan infiltrasi melalui kekerasan dan politik kebudayaan. Tidak ada
cetak dan patron sempurna untuk membingkai masyarakat, namun akal selalu mampu
menjadi penengah antara tarikan politik, agama dan kita. Di Aceh, saatnya kita
mengeja kembali bagaimana kita menerjemahkan hawa nafsu dan bagaimana akal sehat bisa menjadi penuntun untuk
memperbaiki apa yang sudah menggerus kemanusiaan kita dalam satu dekade ini.
[]
Reza
Idria, pengajar
di UIN Ar-Raniry, berkumpul di Komunitas Tikar Pandan. Sedang menempuh studi doktor di Universitas Harvard.
Tulisan ini dalam versi pendek telah dimuat di koran Serambi Indonesia, edisi Minggu (5 Januari 2014). Tautannya: di sini.