Slider

Senin, 06 Januari 2014
0 komentar

Akal, Hawa Nafsu, Hak (oleh: Reza Idria)

20:56

Negeri-negeri lahir dari jantung para penyair, lalu makmur dan hancur di tangan politisi (Mohammad Iqbal)

Kita baru saja meninggalkan Desember yang hiruk dan sejumlah repetisi perayaan yang semakin kikuk. Sembilan tahun sudah, tsunami telah mengambil banyak dari kita namun turut menyumbang banyak, dari mengakumulasi kehilangan sekaligus memukul mundur ragam bentuk kejahatan perang. Menjelang satu dekade, tentu bukan lagi kurun waktu yang singkat untuk satu refleksi tentang perubahan, apa yang sudah, yang perlu, dan apa yang tidak. Esai pendek ini akan gagal sejak awal jika berhasrat merangkum semuanya. Alurnya saya kira juga anakronis, sebagai dalih gamangnya memori bekerja setelah trauma.

Bagi sejumlah pemikir, bencana dan penderitaan yang ditimbulkannya selalu memberi kemungkinan munculnya pola hubungan baru dan juga, setidaknya dalam telaah Wittgenstein, “permainan kata.”

Kata “Aceh” kini digunakan lebih sering dari zaman manapun sebelum kita, tercetak dimana-mana mulai dari gerobak mie, partai politik, portal berita hingga pelengkap nama di jejaring sosial media. Rasanya tidak sah kalau tidak ada kata Aceh dalam setiap frasa yang digunakan. Begitu pentingnya hingga penjual mie mungkin takut mie-nya tidak dianggap mie Aceh, atau seseorang mungkin khawatir tidak dikenali sebagai orang Aceh, atau tidak cukup “Aceh” tanpa kata Aceh di belakang namanya. Kata dan definisi Aceh dirayakan dengan cara yang belum pernah tercatat sebelumnya. Pada tahun-tahun yang sulit, identitas bergaung sebagai bahasa melawan penindasan. Namun setelah lepas dari waktu genting itu, identitas sebaliknya digunakan untuk menindas. Identitas sangat menggelorakan semangat ketika menemu konteksnya, namun mencemaskan ketika ia jatuh untuk menyempitkan pandangan. Kita belum beruntung, karena hal kedua-lah yang kini menggerus kesadaran, terhimpun dalam kenyataan politik sehari-hari dan cara beragama kita belakangan ini. 

Sedikit sekali kini yang ingat bahwa dalam suasana berkabung pasca perang dan bencana, tubuh kita yang luka patah dipapah oleh penduduk dunia tanpa dipertanyakan suku bangsa kita dan beragama apa. Itu zaman orang-orang menggubah syair, tentang kehilangan, tentang harapan, tentang masa depan Aceh, dan iman yang tidak kehilangan rasa percaya dirinya. Sementara kini, sejumlah politisi dan aktivis yang tumbuh seiring dengan berkembangnya tenda ayam penyet di Kutaradja akan paling lantang melaknat segala sesuatu yang berbau asing. Tidak seperti yang diyakini para ahli, rasa sakit ternyata tidak terlalu banyak menyumbang bagi memori kita.

Triliunan derma memang sanggup menyulap perwajahan mutakhir kota dan jalan-jalan, sebagaimana yang kita saksikan sekarang. Namun yang luput kita bangun adalah kelompok sosial yang kuat, yang oleh Habermas disebut sebagai “individu-individu rasional yang terbebas dari kepentingan politik kuasa,” sebagai syarat imbangnya gerak menuju masa depan. 

Menjelang usai perkabungan, politik (lebih tepatnya politisi) bergerak lebih cepat dengan memonopoli bahasa publik melalui klaim-klaim mampu merepresentasikan keinginan paling mendasar dari masyarakat. Istilah-istilah seperti “kemanusiaan”, “kesetiakawanan” dan “kesetaraan” yang sebelumnya mengangkat kembali tubuh kita yang cedera dimangsa negara dan bencana, segera berubah menjadi “keistimewaan,” “kekhususan,” atau “keislaman” dalam makna yang sempit dan membelah. Politik terus menerus menuntut agar kita harus dipandang dan diperlakukan berbeda. Sementara agama digunakan sebagai dalih membatasi gerak pikir dan beda tafsir. Istilah-istilah di atas, yang di kamus sedianya bermakna positif, menjelma kata-kata dengan makna ambigu, bertujuan mereduksi dan manipulatif. Semua itu dimungkinkan karena kita punya kata “Aceh”, yang harus dipandang berbeda dan punya“ke-khusus-an.” Saya tidak meragukan bahawa dalam diplomasi politik center-periphery, kata-kata itu penting, tapi itu menjadi masalah ketika ia diadopsi serta menghegemoni di ruang dan bahasa publik.

Yang dilihat orang kemudian dari kita adalah masyarakat yang paling sibuk mengeja kembali identitas, sejarah dan kebudayaan, apa saja yang membuat kita harus tampak paling istimewa lalu menerjemahkannya dalam praktik yang mengkhianati tujuan kita melawan yang menindas kita di tahun-tahun yang sulit. Menyembelih orang yang dituduh sesat, mencukur dan merendam anak punk, tidak boleh duduk mengangkang, meninju khatib di atas mimbar, hingga bagi-bagi dana publik yang tidak perlu dipertanggungjawabkan menjadi mungkin karena kita punya kata “Aceh,” sebagai pembenaran karena kita khusus dan punya kelebihan. Satu anekdot membetot saraf ketawa saya ketika seorang teman yang jenaka menceritakan bahwa bumi yang diyakini bulat ternyata memiliki tonjolan jika dilihat dari bulan, dan di tonjolan itulah hidup orang Aceh sebagai “bangsa teuleubéeh ateuh rueng dônja.

Kalimat italik ini pada satu zaman mungkin punya daya guncang yang luar biasa, satu kalimat proklamatik dan tafsir literal bagaimana Aceh memiliki kelebihan dibanding bangsa-bangsa lain di dunia. Namun frasa heroik tersebut tidak lagi menemukan daya magisnya ketika hari ini dihadapkan pada ancaman disintegrasi persaudaraan Aceh yang semakin mengejang di ranah politik, sementara agama dalam banyak hal berhenti di tataran simbolik dan kedaulatan sumber daya alam digadai ke tangan pemilik modal. Ada yang absen di sini, kita akan kembali kepadanya beberapa saat lagi.

Tali Allah

Selain emas dan minyak, sejarah adalah hal yang paling banyak digali di Aceh setelah tsunami. Tak ada yang lebih tepat untuk menunjukkan bagaimana pentingnya sejarah bagi kita selain keinginan politik yang begitu kuat untuk kembali pada kegemilangan masa lalu. Sayang sekali tak ada mesin waktu, tak ada tradisi menyimpan arsip, hanya tersisa sedikit manuskrip, sehingga sejarah yang kini muncul adalah klaim dari mulut kepentingan. Sejarah tidak lagi sebagai pohon ilmu, tapi candu. Bagaimana sejarah bisa digugu sangat tergantung siapa yang berbicara dan untuk kepentingan apa, dan apa jadinya ketika ia bertemu dengan hasrat berkuasa. Bahasan ini sudah melahirkan Ibnu Khaldun, Hegel, Nietzsche, Freud, Foucault hingga Edward Said, dan kita tinggal membacanya. Tapi inilah problem terbesar kita: pembacaan, lagi-lagi karena ada yang absen di sini.

Satu catatan penting mengenai Aceh yang jarang sekali dibaca oleh orang Aceh sendiri adalah apa yang ditulis James Siegel tentang kita era tahun 60-an. Era yang masih terjangkau sumber-sumbernya dan nyaris sama dengan apa yang kita jalani kini. Siegel tiba tahun 1962, saat Aceh juga sedang menata diri setelah perang, pejuang baru saja turun gunung dan mulai hidup baru. Ia tepatnya menjadi orang kulit putih pertama yang masuk dan tinggal di Aceh setelah zaman kolonial.

Daud Beureueh menyita perhatiannya, tokoh yang menolak segala kemewahan yang disediakan di Kutaraja dan memilih tinggal dekat dengan pengikutnya. Siegel memberi judul bukunya The Rope of God, frasa dari ayat Al-Quran yang paling sering dikutip Daud Beureueh ketika memberikan ceramah, bahwa masyarakat Aceh hanya bersatu dengan senantiasa berpegang pada “Tali Allah.” Buku itu dengan elegan membongkar kekeliruan etnografi kolonial karya Snouck Hurgronje, lalu melacak evolusi Islam dalam struktur sosial, perekonomian, tatanan keluarga dan kharisma kepemimpinan di Aceh ketika itu. Kemampuan kita membendung penetrasi kolonial, melawan ketidakadilan pemerintah pusat hingga menata hubungan kembali dengan musuh, menurut Siegel, semua dilandasi pemahaman yang baik terhadap dua istilah yakni akal dan hawa nafsu.

Hawa nafsu dalam teks agama adalah asal mula dari segala cela yang dilakukan manusia. Akal diciptakan sebagai saringan, sebagai tali kekang hawa nafsu. Akal, pada tahun 60-an, tumbuh sejajar dengan pemahaman agama, yang diterjemahkan oleh masyarakat dalam cara berbicara, bekerja dan membentuk struktur sosial dan politik. Bukan tidak ada masalah atau konflik sosial yang dicatat, namun kesemuannya itu tetap dalam bingkai sempurna atau tidaknya akal dalam mengendalikan hawa nafsu. Akal sehat adalah determinan dan resolusi menjawab pertanyaan umat tentang kemunduran kita, agama dan negara, berbanding modernitas serta kuasa imperial Barat ketika itu. Daud Beureueh dan kolega PUSA-nya berangkat dari sana.

Ketika akal belum sempurna maka hawa nafsu yang menjadi penggerak. Seorang bayi, dalam analisis rinci Siegel tentang formasi keluarga, akan meminta apa saja, menangis seharian, minta perhatian hingga menumpuk apapun yang bahkan tidak dibutuhkannya. Tangisan itu kerap dituruti berjam-jam, bahkan seharian. Itu adalah hal yang lumrah di rumah-rumah yang memiliki anak kecil, menangis dan tidak didiamkan. Itulah hak dia sebagai yang belum sempurna akalnya. Orang dewasa (rasional) akan mengalah dan memahami suara lengkingan itu sebagai bagian dari proses tumbuhnya akal. Namun ada tahap-tahap yang tidak lepas dari kesadaran anggota keluarga untuk mengawal tumbuh kembangnya akal. Proses menyeimbangkan antara akal dan hawa nafsu adalah proses yang terus menerus menjadi perekat dan membangun apa yang hari ini kita sebut dengan istilah masyarakat. Masyarakat menuntun dan melindungi fase-fase hingga sempurna tumbuhnya akal dengan selalu berpegang pada “Tali Allah”, yang pada kalimat penutup buku ditulis Siegel sebagai “tali yang tak pernah rapuh karena hujan dan tak pernah lepuh karena matahari.”  

Membaca kembali Siegel, saya berharap kita menangkap apa yang absen sekarang ini, mungkin menyelamatkan kita dari frustasi melihat relasi politik kontemporer sekaligus melatih kembali kemampuan kita berpartisipasi dalam masyarakat Aceh yang baru saja tumbuh kembali bersama problem akal dan hawa nafsu-nya. Setelah tsunami, Siegel mungkin mengenali bahwa hawa nafsu kini diartikulasikan sebagai “hak”, namun saya kira ia juga bisa menerima bahwa trend bergantung pada satu dua sosok seperti Daud Beureueh di tahun 60-an juga sudah tidak lagi menemukan konteksnya. Di abad setelah era modernitas rubuh, yang dituntut adalah tanggung jawab individual dalam membangun fungsinya sebagai bagian dari kelompok sosial. Kegagalan membangun akal dan tanggung jawab menggiring kita menjadi penuntut, dengan tingkatan yang berbeda-beda: jatah terhadap apa yang kita sebut sebagai hak perdamaian, hak tsunami, hak identitas, hak politik, hak agama dan sebagainya. Hak, kata yang dipinjam dari bahasa Arab yang memiliki makna “benar”, menjadi hawa nafsu tanpa kendali akal ketika orang merasa benar melakukan apa saja dari mencakar, membabat, menghancurkan fasilitas negara, hingga membunuh jika merasa haknya tidak diberikan. Sementara di sisi lain sebagian orang menumpuk sesuatu di luar kebutuhan. Tanpa rasa cukup, yang tidak bisa dinalar karena akal belum tumbuh dengan sempurna.

“Tali Allah” adalah catatan tahun 60-an sebelum Orde Baru memutuskan tautan itu, merebut ulama dari rakyat dan melakukan infiltrasi melalui kekerasan dan politik kebudayaan. Tidak ada cetak dan patron sempurna untuk membingkai masyarakat, namun akal selalu mampu menjadi penengah antara tarikan politik, agama dan kita. Di Aceh, saatnya kita mengeja kembali bagaimana kita menerjemahkan hawa nafsu dan bagaimana akal sehat bisa menjadi penuntun untuk memperbaiki apa yang sudah menggerus kemanusiaan kita dalam satu dekade ini. []


Reza Idria, pengajar di UIN Ar-Raniry, berkumpul di Komunitas Tikar Pandan. Sedang menempuh studi doktor di Universitas Harvard. 

Tulisan ini dalam versi pendek telah dimuat di koran Serambi Indonesia, edisi Minggu (5 Januari 2014). Tautannya: di sini.

Berita Terbaru

 
Top