Slider

Selasa, 21 Mei 2013
0 komentar

Orasi Kebudayaan "Satu Tahun Museum HAM Aceh" oleh Nezar Patria

16:20


PADA malam perayaan satu tahun museum ini, saya tak bermaksud mengulang kembali kisah yang menyayat selama perang GAM melawan TNI di Aceh, atau “meneteskan kembali asam-garam” pada luka lama.
Tapi peristiwa kekerasan masa lalu yang masih berutang pada rasa keadilan, selalu mengundang gugatan. Para korban kekerasan punya hak moral melakukan interogasi terhadap sejarah buruk yang menimpa mereka.
Museum HAM di Aceh, saya kira memberikan dua horizon pemikiran yang penting.
Pertama, kehadirannya seperti mengingatkan kita bahwa “HAM” bagi Aceh adalah kosakata yang ditemukan maknanya dalam pergulatan yang pedih. Dia adalah salah satu hasil dari perjumpaan hasrat politik menghidupkan kembali kedaulatan lama Aceh, dengan satu arus besar sejarah yang tak kuasa dibendung oleh Aceh pada masa silam.
Aceh yang bergolak dahsyat mengusir kolonial di akhir abad 19 itu adalah juga Aceh yang hanyut dalam gelombang semangat kaum republikan pertengahan abad 20, membela kemerdekaan republik tanpa syarat, tapi juga selama lebih dari tiga dekade berada dalam perjuangan sengit menuju perceraian dari republik yang pernah dibela kemerdekaannya itu.
Dalam perjumpaan itu, kita merekam semangat manusia Aceh yang menyala-menyala, berkobar-kobar, tapi juga suatu akhir yang sarat kekecewaan. Setelah dua bulan dalam kegalauan setelah Proklamasi Kermerdekaan RI di Jakarta, empat pemimpin penting di Aceh mengucapkan deklarasi atas nama ulama seluruh Aceh pada 15 Oktober 1945, menyatakan “rakyat telah berdiri bersatu padu patuh berdiri di belakang maha pemimpin Ir Soekarno untuk menunggu perintah dan kewajiban yang akan dijalankan”.
Mereka bersepakat bahwa perjuangan Soekarno-Hatta itu adalah perjuangan suci yang disebut Perang Sabil, dan “sambungan perjuangan dahulu di Atjeh yang dipimpin almarhum Tgk Chik di Tiro dan pahlawan2 kebangsaan yang lain”.

Dekralasi itu kita kenal sebagai “Maklumat Ulama Seluruh Aceh”, dan ia adalah catatan penting tentang bertemunya Aceh dengan gelora anti-kolonial di luar dirinya, terutama di Jawa, yang dibangkitkan oleh gerakan progresif kaum republik. Kita tahu kisahnya kemudian, bagaimana Aceh berdiri di barisan terdepan membela republik, dan episode 1945 sampai 1949 itu, harus dicatat sebagai babak paling penting dalam pembentukan nasionalisme Indonesia, tapi sekaligus fase menentukan bagi pencarian identitas politik Aceh.

Tak lama setelah masa itu, di awal 1950an, kita mencatat yang datang adalah kekecewaan. Pergolakan Darul Islam Aceh meletus pada 1953, dan Aceh masuk ke babak perang dengan hukum aksi dan reaksi, sikat menyikat, perpecahan sesama kerabat, dan parade kekerasan yang menyedihkan. Pada 1 September 1954, Teungku Hasan di Tiro, pemuda Aceh yang sedang belajar di New York, atas nama duta Darul Islam Aceh, menulis kecaman kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo:
“Belum pernah selama dunia berkembang, tidak walaupun di masa penjajahan, rakyat Indonesia dipaksa bunuh membunuh antara sesama saudaranya secara yang begitu meluas sekali sebagaimana sekarang sedang Tuan paksakan di Aceh, di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah dan di Kalimantan”.
Perang memang membuat orang begitu gampang dirasuki angkara. Satu peristiwa penting yang cukup diingat adalah pembantaian pada 26-28 Februari 1955. Inilah bab terburuk dari operasi militer republik muda itu menghadapi Darul Islam Aceh, tatkala 99 warga sipil termasuk anak-anak di kampung Pulot dan Cot Jeumpa, Aceh Besar tewas dibantai. Mereka dibariskan di tepi pantai sekitar Leupung, dan roboh serempak diterjang siraman peluru serdadu.
Hak azasi manusia mungkin belum lagi menjadi suatu soal bagi bangsa baru merdeka. Kita tahu tak ada penyelesaian yang adil atas perkara Pulot Cot-Jeumpa itu. Pemberontakan Darul Islam di Aceh pun kian menyala sampai dengan 1963.

Seperti memutar ulang kembali sejarah, hal sama terjadi ketika pergolakan GAM muncul di 1976 hingga 2005. Jakarta memberikan reaksi yang sama, tapi dengan skala lebih masif dan brutal dari apa yang pernah terjadi pada pergolakan di Aceh sebelumnya. Tak begitu persis berapa jumlah korban, tapi sejumlah lembaga pemantau HAM internasional menghitung sekitar 12.500 orang tewas dalam masa tiga dekade itu.

Mungkin korban yang tak tercatat lebih besar, karena seperti kita tahu itu terajdi di bawah penindasan rezim orde Baru, saat rakyat membisu, dan bisingnya peluru-peluru yang melesat mencabut paksa jiwa-jiwa manusia tak bersalah itu, tak pernah terdengar di dunia luar. Mayat-mayat tak bernama ditemukan di dalam karung, di pekarangan rumah orang-orang kampung.
***
Ketika saya mengunjungi satu kampung di Aceh Timur, di tengah darurat militer pada 2004, tersaksikan suatu cara bagaimana rakyat bertahan dari perang. Bendera merah putih berkibar ketika pasukan TNI melintas di sana, dan esoknya juga dengan cepat berganti menjadi bendera merah dengan bulan sabit bertepi garis hitam putih, karena ada gerilyawan yang turun untuk sebuah pertemuan.
Serombongan ibu muncul dari balik bilik rumah yang sunyi, dan menemui seorang wartawan yang mereka ketahui datang dari Jakarta. Di tangan mereka ada foto-foto yang sebagian besar warnanya telah pudar. “Tolonglah nak, cari si Agam. Dia pamit dengan saya main voli. Tapi sampai hari ini tidak pulang. Kabar terakhir dia diambil oleh segerombol orang di kedai si Saiful, dan ada yang melihat dia diperiksa di kantor tentara,” ujar seorang ibu.

Saya masih ingat wajah dalam foto itu: seorang pemuda 19 tahun berhidung mancung berkulit kuning, alis matanya hitam tebal. Dia berdiri gagah, bercelana jins dan berjaket kulit. Di belakangnya ada tirai biru bergambar pemandangan danau yang indah entah di mana, menjadi latar yang disetting oleh studio foto di pasar kecamatan. Wajah anak muda itu begitu ceria.
Seorang perempuan setengah baya menunjukkan gambar suaminya: sebuah pas foto empat kali lima inci dengan guntingan bergerigi pada sisi-sisinya. Dia seorang lelaki malang berusia mungkin 50 tahun, berkulit hitam, dengan rambut keriting dan kumis yang gagah. Dia seorang petani tak bertanah, yang menurut penuturan istrinya itu, diambil pada tengah malam oleh orang-orang tak dikenal, dan tak pernah kembali sampai bertahun-tahun kemudian. “Dia difitnah, dia bukan GAM. Dia dijemput, katanya gara-gara ikut memberi makan kepada orang-orang yang di hutan itu,” ujar perempuan itu.
Ada banyak cerita seperti itu, dan mungkin terlalu berat soalnya untuk dikemukakan dalam kesempatan yang singkat ini.
Barangkali sampai di sini, problem penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh mirip seperti bagasi yang tertinggal saat kereta sampai di tujuan. Dia tertinggal, dan di satu perhentian, kita bahkan tak mengingat lagi bahwa ada jalan yang begitu pedih sebelum kita tiba di satu masa seperti hari ini.
Ada satu kisah menarik dari Milan Kundera, pengarang masyhur dari Cekho, dalam novelnya “The Book of Laughter and Forgetting” (1980). Di bagian pembuka novel dengan gaya satiris dia mengisahkan tentang pemimpin Hungaria, Klemen Gottwald berdiri di balkon di istana Barok di Praha, pada bulan Februari 1948. Sang tokoh sedang menatap ratusan ribu warganya di alun-alun kota. Gottwald ditemani oleh kawan seperjuangannya, Clementis.
Tapi yang diingat orang pada saat itu adalah salju yang turun lebat, dan dingin yang menikam, sementara Gottwald berdiri tanpa penutup kepala. Clementis, temannya yang setia itu, lalu melepaskan topinya, dan memakaikannya kepada sang pemimpin Gottwald. Hari itu deklarasi rezim komunis Hungaria resmi berkuasa, dan seksi propaganda partai mencetak ratusan ribu foto di mana Gottwald berdiri gagah di balkon dengan topi di kepala, dan rekannya Clementis ada di sampingnya.
Empat tahun tahun kemudian, ketika Clementis berkhianat dan mati digantung, seksi propaganda partai segera melenyapkannya dari sejarah. Sosok Clementis yang berdiri di sisi Gottwald pada foto itu pun dihapus. Lalu foto resmi yang beredar adalah seorang Gottwald berdiri gagah di balkon. Tak ada lagi Clementis. Orang hanya tahu ada jejaknya di sana, karena Gottwald yang gagah itu tetap mengenakan topi pemberian Clementis di kepalanya.

Di Hungaria, satu kebenaran sejarah dihapus dengan vulgar demi langgengnya kekuasaan. Setelah paragraf itu, Kundera lalu menohok dengan satu kalimat, yang kelak paling sering dikutip para pejuang HAM yang melawan rezim penghapus sejarah di mana pun: “Perjuangan melawan kekuasaan adalah juga perjuangan melawan lupa”.
***
Melawan lupa. Saya kira ini horizon kedua dari kehadiran Museum HAM Aceh.
Dari tempat ini, kita bisa menatap riwayat baru dari satu generasi Aceh yang tumbuh dan besar di penghujung abad 20. Sejumlah dari mereka adalah juga korban dari konflik, yang baru tujuh tahun silam berakhir dengan perjanjian damai di Helsinki.
Generasi baru Aceh itu turut dalam pergolakan menjelang kediktatoran Soeharto jatuh, dan mulai melakukan gugatan atas pelanggaran HAM masa lalu. Kata DOM menjadi populer, ada “bukit tengkorak” ditemukan sebagai tumpukan tulang belulang manusia korban penyiksaan keji, atau juga “kampung janda”. Semua cerita itu diungkap oleh media, dan para korban tampil di muka dengan teriakan lebih keras untuk meminta keadilan.
Tapi di masa 1998 itu, Indonesia yang baru saja lepas dari kediktatoran, tak bisa menjawab apa yang dituntut dan digelorakan kaum muda dari ujung pulau Sumatera ini. Meski DOM berakhir pada Agustus 1998, dan kembali lagi beberapa tahun setelahnya, kekecewaan nyaris berteman dengan putus harapan.
Kegusaran itu bertemu dengan satu gerakan yang telah lama berdiam di sudut-sudut kampung sejak 1976, dan menghasilkan “kesadaran politik baru” tentang Aceh yang harus berdiri sendiri. Kemarahan politik itu meletup dalam satu tuntutan yang menggetarkan: referendum.

Setengah juta warga turun ke jalan, berjajar dari alun-alun sampai depan Masjid Raya Baiturrahman. Gerakan massa pada November 1999 itu adalah ekspresi nyata dari suatu krisis percayaan yang dahsyat. Sesuatu yang oleh Antonio Gramsci disebut sebagai krisis hegemoni, tentang “Kekuasaan lama yang sedang sekarat, tetapi yang baru belum bertumbuh”.
***
Kita hidup di masa paling penting dari sejarah Aceh modern. Perdamaian yang diteken di Helsinki antara GAM dan RI, di luar soal puas atau tidak puas, telah membuka peluang politik bagi Aceh untuk memberikan yang terbaik, dari tenaga dan pikirannya sendiri. Buah perjuangan panjang, dan titik kompromi itu adalah suatu sistem demokrasi lokal yang berkuasa untuk mengatur diri sendiri, tanpa harus menyerahkan segalanya ke pemerintahan pusat.
Undang-Undang Pemerintahan Aceh adalah hasil pergulatan yang sulit, dan secara dialektik mengatasi apa yang pernah dicapai pada masa lalu, dari status Aceh sebagai daerah istimewa, lalu otonomi khusus, dan kini semestinya lebih berdaya dengan parlemen dan partai lokal. Rakyat daerah ini juga semestinya lebih sejahtera dengan jatah triliunan rupiah dana otonomi khusus dan pembagian hasil bumi, seperti yang disepakati dalam MoU di Helsinki pada Agustus 2005.
Demokrasi lokal itu juga membuka kesempatan bagi kompetisi yang adil untuk memenangkan representasi warga di parlemen, maupun memutuskan pilihan siapa memimpin di pucuk lembaga eksekutif. Pemilu 2009 yang kita lalui telah memberikan warna menarik bahwa parlemen lokal Aceh dikuasai oleh partai lokal. Juga pada Pemilu 2007, atau yang baru-baru ini kita lakukan pada 2012, pemimpin tertinggi di Propinsi Aceh datang dari mereka yang berjuang di garis depan.
Kita berharap kepemimpinan Partai Aceh, sebagai partai berkuasa hari ini, bisa menyelesaikan sejumlah soal, terutama menengok kembali Undang-undang Pemerintahan Aceh yang juga mengamanatkan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM pada masa lalu.

Seorang rekan mengatakan itu usaha yang tak mudah, karena gaung tuntutan makin lama kian mengecil. Kita berada pada satu fase yang sulit mencari kembali bagasi lama yang tertinggal itu, bagasi yang berat oleh kasus pelanggaran HAM.
Tapi jika itu kita sebut sulit [karena dia bisa mengancam perdamaian], maka kita bertemu dengan satu ironi. Demi perdamaian terjaga, kita lalu menahan diri tak berbicara soal kekerasan masa lalu yang bisa mengungkit kembali luka. Tapi menutup luka yang belum sembuh juga berisiko pada kambuhnya rasa sakit.
Perdamaian memang soal yang pelik. Saya teringat uraian seorang sejarawan perang dari Universitas Oxford, Inggris, Michael Howard. Dalam bukunya “The Invention of Peace and the Reinvention of War” (2005), Howard mengatakan perdamaian selalu bersifat artifisial, dia bukan natural. Negara yang menciptakan perang, dan karenanya negara juga yang membuat perdamaian.
Negara yang menciptakan perdamaian itu juga lahirnya tidaklah natural. Sejarah politik manusia, seperti yang diyakini kalangan Hobbesian, pada dasarnya bertolak dari kenyataan “homo homini lupus”, manusia satu adalah serigala bagi manusia lainnya. Benturan kepentingan antar individu terjadi setiap detik, setiap saat, dan dibutuhkan “Leviathan”, sejenis makhluk gergasi untuk mengatasi kepentingan itu, dan mengaturnya atas nama collective will,kehendak bersama. Leviathan itu adalah metafor yang digunakan Thomas Hobbes untuk menjelaskan satu badan besar yang berkuasa disebut “negara”, suatu badan representasi dari kepentingan bersama.
Jika inti negara demokrasi adalah persoalan representasi, maka politik lokal yang dicapai Aceh hari ini adalah sebuah jalan keluar. Setidaknya, dia memberikan momen legitimasi bagi suatu hasrat politik tentang Aceh yang berdaulat, dengan jalan lebih bermartabat. Inilah semestinya menjadi momen penting menyelesaikan apa yang belum tercapai, termasuk memberikan keadilan yang tertunda bagi warga.
Kita ingat sebuah epik yang ditulis oleh Teungku Lam Rukam, “Hikayat Potjut Muhammad”, yang secara metaforis merekam situasi politik Aceh pada awal abad 18, suatu masa saat kerajaan Aceh berada pada titik terendah setelah berjaya tiga abad sebelumnya.
Epik itu menggambarkan sebuah perang sipil di Aceh. Antropolog James T Siegel, dalam bukunya “Shadow and Sound” (1979), menyebut Aceh pada masa epik itu ditulis adalah Aceh yang muram. Kerajaan-kerajaan kecil bertengkar karena kehilangan sosok yang kuat dan tegas di Kesultanan Aceh. Situasinya hampir mirip “a bellum omnium contra omnes”, suatu perang semua melawan semua.
Akar persoalannya adalah pada dualisme kekuasaan, antara Raja Muda, putra pertama dari Sultan Alaudin Johansyah, dan Jamaloialam, seorang aristokrat berdarah Arab yang menguasai Bandar Aceh di Gampong Jawa. Raja Muda memerintah di keraton, sementara di Gampong Jawa, di pusat perdagangan itu, Jamaloialam berkuasa. “Hantom di gob, na di geutanyoe. Saboh nanggroe dua raja” (Tak ada di tempat lain, tapi ada pada kita. Satu negeri dua raja).
Potjut Muhammad, sang protagonis dari epik itu, adalah adik Raja Muda. Dia percaya, jalan keluar persoalan ini adalah mengembalikan kekuasaan ke kerajaan agar “hukum dan ketertiban” bisa kembali ditegakkan. Tapi dia tak dapat dukungan keluarga. Jamaloialam dianggap berjasa oleh ayahnya, Sultan Alaudin. Dengan alasan apapun, karena politik balas budi, dia tak boleh diserang.
Sepanjang kisah itu kita membaca bagaimana Potjut Muhammad tak menyerah. Dia mengumpulkan dukungan dari luar kerajaan, dan memilih menabrak nasehat ayahnya demi “kebaikan publik”. Singkat cerita, Jamalaoialam akhirnya kalah, dan menyingkir. Tahta kuasa secara absolut kembali ke Raja Muda.
Pada epik itu kita belajar tentang satu etika politik yang mengabdi pada publik, bahwa pemimpin Aceh pada masa itu mampu menarik batas dari satu moral “balas budi” yang personal, dan kewajiban menenggakkan “apa yang benar” untuk kebaikan publik.

Kita berharap politik Aceh hari ini, dengan segala pencapaian yang melekat padanya, bisa jauh melampui dari pelajaran pada abad 18 itu.
Jakarta-Banda Aceh, 9 Juni 2012
*) Orasi pada perayaan Malam Damai dan Setahun Museum HAM Aceh, Komunitas Tikar Pandan, Banda Aceh, 9 Juni 2012

Berita Terbaru

 
Top