Slider

Selasa, 21 Mei 2013
0 komentar

Nezar: Tuntaskan Keadilan yang Tertunda

16:08
BANDA ACEH - Pemerintah Aceh yang terpilih melalui Pilkada 2012 dihadapkan pada tantangan untuk mewujudkan keadilan rakyat yang tertunda selama berpuluh tahun akibat konflik bersenjata.

Pemikiran itu diutarakan Nezar Patria, salah seorang tokoh muda Aceh yang juga mantan aktivis HAM dan politik dalam pidato budaya pada Malam Damai dan Peringatan Satu Tahun Meuseum HAM Aceh di Plaza Episentrum Ulee Kareng, Jalan Lamreung Nomor 20, Banda Aceh, Sabtu (9/6) malam.

Acara bertema budaya dan HAM tersebut dibuka dengan slide foto tentang sejarah budaya Aceh, kliping berita seputar pelanggaran HAM yang dimuat sejumlah media, dan pajangan foto korban tindak kekerasan dan penghilangan paksa saat Aceh berkonflik.

Para pengunjung juga disuguhkan penampilan instrumen biola solo dilanjutkan penampilan teater parlemen dari seniman tutur Agus Nuramal berkisah tentang program kerja 100 hari gubernur Aceh terpilih dengan para kabinet-nya.

Di antara para undangan tampak mantan wali kota Sabang Munawarliza Zainal, mantan aktivis GAM Nurdin Abdurrahman, Nur Djuli, dan sejumlah akademisi, seniman serta aktivis HAM Aceh.



Nezar mengawali pidatonya dengan melukiskan satu fragmen situasi konflik Aceh saat berlangsung darurat militer yang menggambarkan rakyat jelata bertahan hidup dari jepitan dua kekuatan konflik--aparat keamanan dan GAM. Dia menyaksikan satu pengalaman di daerah pedalaman di mana bendera merah putih berkibar di sebuah desa dan esok harinya berganti dengan bendera GAM karena ada sekelompok orang yang turun untuk satu pertemuan.

Nezar menyebutkan konflik telah benyak memberi bekas luka, terutama bagi mereka yang kehilangan anggota keluarganya yang hingga kini tanpa diketahui pusaranya. “Kata DOM menjadi populer, ada juga kampung janda dan semua itu diberitakan media secara luas,” sebut Nezar yang juga Redaktur Portal Berita vivanews.com.

Nezar juga mengisahkan, hingga pada akhirnya DOM dicabut pada 1998 dan Indonesia mengalami masa sulit setelah runtuhnya kekuasaan rezim pemerintahan Suharto. Pada 1999, Aceh seolah mendapat euforia untuk menyatakan pendapatnya hingga terjadi gejolak tuntutan referendum.

Menurut Nezar, semua pengalaman sejarah ini betapa menggambarkan bahwa telah terjadinya satu tragedi kemanusiaan di Aceh yang mengorbankan banyak nyawa. Pengalaman ini tidak dengan mudah bisa dilupakan tanpa ada satu upaya rekonsiliasi guna menghilangkan kecurigaan parapihak yang merasa dikorbankan pada masa konflik.

“Rasa keadilan para korban yang selama berpuluh tahun tertunda karena konflik selayaknya menjadi perhatian serius pemerintah Aceh pasca-MoU Helsinki dan adanya partai politik lokal,” tandas Nezar.

Direktur Museum HAM Aceh, Reza Indria mengatakan tragedi kemanusian karena konflik di Aceh tidak perlu harus terulang. “Apa yang kita saksikan di malam ini adalah luka kita bersama karena konflik. Kita harap apa yang ditampilkan malam ini tidak terjadi lagi,” sebutnya.(sar)

Berita Terbaru

 
Top