Slider

Jumat, 14 Februari 2014
0 komentar

Memperdebatkan Act of Killing Sebagai Produk dan Siasat Politik (Oleh: Dag Yngvesson)

06:51


Tulisan ini adalah sebuah pemikiran singkat untuk menyoroti reaksi pemerintah Indonesia terhadap film Jagal/Act of Killing, sekaligus menanggapi pernyataan dari ko-sutradaranya tentang reaksi pemerintah tersebut. Tulisan ini juga berdasarkan pemikiran saya bahwa metode dalam mewacanakan "Indonesia" perlu diperdebatkan lebih lanjut. Sebagai orang yang sudah cukup lama tertarik dengan politik sejarah Indonesia dan mengenal secara langsung beberapa warga Indonesia, mereka yang pernah di penjara dan keluarga yang kehilangan sanak familinya pasca peristiwa ‘65, saya sangat tertarik ketika pertama mendengar adanya film ini.

Saya bersyukur, bahwa saya bisa mendapat kesempatan untuk menonton film tersebut dalam kesempatan-kesempatan yang paling awal. Tentunya, sebagai dokumenter, film ini memiliki banyak aspek yang sangat kuat seperti misalnya: kita jarang melihat situasi seperti apa yang tersaji dalam film itu, di mana pembuat film berhasil mendekati dan dipercayai oleh objek filmnya (orang-orang “jahat” itu), dan memperkenalkan sikap dan karakter mereka ke penonton dengan begitu gamblang. Apalagi penonton seolah diikutkan dalam sebuah proses ketika para preman tersebut membuat film soal ingatan mereka sendiri, jaman ketika mereka menjadi jagal menjelang kenaikan Orba.

Ketika Majalah Tempo membuat edisi khusus soal kekerasaan dan pembunuhan ’65, yang konon adalah efek samping dari perhatian pers internasional terhadap Jagal, saya juga percaya bahwa film ini akan bisa merupakan penanda adanya kejadian penting dalam perjuanga­­­­n menginvestigasi dan menganalisis ulang sejarah Orba, sebuah proses yang waktu itu sebenarnya sudah berlangsung secara serius dan umum sejak 1998. Kini setelah kira-kira 1,5 tahun, apalagi setelah Jagal sudah mendapat banyak penghargaan internasional dan nominasi Oscar, kita mungkin tidak terlalu heran dengan adanya respon dari berbagai pihak. Termasuk ketika pemerintah Indonesia baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang mengkritik cara Jagal menciptakan sebuah konstruksi kehidupan bernegara di Indonesia dan menjualnya dengan citra sinematis ke berbagai penjuru dunia. 

Masalah “Citra Buruk”

Kalau Teuku Faizasyah, juru bicara kepresidenan Indonesia, menyatakan: Jagal menunjukkan Indonesia sebagai negara yang “kejam dan tak terhukum,” dan juga “sangat terbelakang,” saya kira kita sebagai penonton, dan para aktivis yang mendukung filmnya juga bisa memahami maksud kata-kata itu. Walaupun kita mungkin kurang setuju.

Memang “Indonesia” yang terdapat di layarnya ketika Jagal diputar, dan di wacana yang dibangun oleh diskusi-diskusi yang terinspirasi oleh filmnya, bukan merupakan sebuah gambaran tentang tempat yang selama ini kita kenal dalam kehidupan sehari-hari di sini. Mungkin bahkan jauh sekali, padahal kita semua sadar bahwa ada banyak preman yang masih berkeliaran, PP juga aktif bahkan tambah banyak pendukungnya, dan ormas lain yang masih sering mungkin dilindungi atau digerakkan oleh pemerintah dan militer untuk melaksanakan hal-hal yang justru kurang manusiawi atas nama kekuasaan. 

Kenapa citra Indonesia dari Jagal terasa jauh dari pengalaman keseharian kalau begitu? Mungkin karena sikap pembuat/filmnya terhadap Indonesia cukup monolitik. Menurut Joshua, sutradaranya, Jagal hanya merupakan “satu pixel” dalam gambaran yang jauh lebih besar –yaitu realitas Indonesia. Namun, juga jika kita meneruskan pemikiran Joshua, tentang si Anwar Congo–pembunuh masal dan preman PP yang “membintangi” film itu–apakah juga bisa mewakili “10,000 orang Indonesia yang lain”?

Terlebih lagi, Joshua mengatakan bahwa Jusuf Kalla, Yapto Suryosumarno, atau mantan Wagub Sumut (yang juga muncul dalam filmnya sebagai koruptor/pendukung pembunuhan masal) pada dasarnya sama saja dengan politikus yang manapun di Indonesia sekarang (lihat wawancara Joshua online di VOA Indonesia). Artinya dengan cara alegori, Jagal memetakan gambaran sebuah negara dimana setiap “pixel” itu pada dasarnya sama saja–jahat dan tidak bermoral. Maka “Indonesia” yang dibayangkannya, padahal mungkin tampak dinamis dan warna-warni secara visual, menandai sebuah keburukan monolitik di bawahnya.

Intinya kita diajak melihat Indonesia sebagai negara yang korup sepenuhnya, dan seolah sama sekali tidak ada ruang-ruang negosiasi diantara kekuasaan dan kita. Sehingga tampaknya di “Indonesia” ini, seolah olah ada kekosongan jiwa aktivisme dan kegiatan para aktivis (sebelum ada Act of Killing). Film tersebut seakan menyerukan bahwa Indonesia hampa dan kosong akan orang-orang yang berpikiran secara kritis. Seperti pendapat Joshua sendiri bahwa Indonesia tidak pernah berubah sejak pembunuhan masal, maka “2013 [merupakan] satu sambungan dari tahun 65” (VOA).

Jadi maksud Teuku Faizasyah adalah citra Indonesia dari Jagal yang laris dan dijual kemana-mana, secara cukup ekstrim menunjukkan negara yang masih terlihat “primitif” secara sosio-politik dan tidak teradaptasi terhadap demokrasi, rasionalitas, atau modernitas secara luas (jadi “tidak pernah berubah sejak lama”). Itulah menurut saya yang menjadi ganjalan alur naratif film ini.

Polemik Sebagai Siasat Aktivis 

Tapi kita yang peduli tentang sejarah dan keadilan dan kebenaran juga mengerti bahwa fokus negatif tersebut punya tujuan tertentu: yaitu sebuah polemik terhadap versi sejarah yang dibuat pemerintah setelah kenaikan Orba, dan yang masih dipakai dan banyak diyakini tanpa banyak perubahan oleh pemerintah sekarang. Versi sejarah Orba itu, yang menutupi kekerasan dan 40 tahun lebih pelanggaran HAM, yang membuat keadaan ‘orde’ dan persatuan di Indonesia seolah-olah baik-baik saja, hendak, seperti disebut dalam filmnya, kita “balikkan 180 derajat”.

Citra Indonesia yang negatif secara total ini adalah sebuah “bom” untuk meledakkan versi sejarah yang salah tapi sudah teradaptasi sebagai dominant narrative di sini sekian lama. Dan rupanya siasat (saya meminjam istilah dari Jakarta Biennale 2013 kemarin) polemik ini, dalam tangan Joshua dan para kolaboratornya, menjadi sangat efektif. Sampai pemerintah yang biasanya suka diam saja tentang aktifitas secara umum para aktivis jaman sekarang (yang saya kira adalah siasat tersendiri agar tidak ditarik dalam debat yang sangat sulit dijawab oleh pemerintah), terpaksa mengeluarkan sebuah pernyataan karena Indonesia dan dunia luar pun sedang “menonton Indonesia” dengan mata dan perhatian baru.

Namun kita juga harus selalu bertanya, sejauh mana kita bisa menerima aksi menghilangkan kompleksitas hidup yang dilakukan oleh pembuat/film yang menerjemahkan sebuah ruang negara menjadi citra dan wacana sinematis. Terlebih lagi kalau filmnya juga merupakan siasat politik atau alat untuk dipakai para aktivis untuk membuka diskusi-diskusi soal sejarah–yang sebenarnya penuh dengan kompleksitas dan kerancuan–dengan tujuan melibatkan pemerintah dan masyarakat. Dalam kasus seperti ini, saya rasa, sesungguhnya kita bersama menyambutnya sebagai film yang mengangkat dan mempublikasikan secara luas isu-isu penting ini, tetapi kita harus melihatnya dengan kacamata yang serba kritis.

Apa, misalnya, efek dari sebuah film yang diposisikan sebagai “kebenaran baru,” kalau film itu menunjukkan dunia di mana hanya ada kejadian yang terpisah jelas secara hitam dan putih, “pelaku” dan “korban”? Seperti disebutkan dalam pernyataan pemerintah, ini memang sangat mungkin merupakan gambaran yang cukup “asing” dari pengalaman hidup kita di sini.

Dalam cukup banyak ulasan melalui tulisan dan cerita-cerita “korban” dan aktivis 1965 pun, konsep pelaku/pembunuh yang berkuasa secara total dan korban yang seolah-olah tidak punya agensi sama sekali sudah sering dipertanyakan dengan tegas, walaupun tetap menerangkan garis besar tentang kejadian pembunuhan massal oleh pihak militer. Mungkin itu yang bisa dikatakan pandangan “lokal” yang kritis kalau dibandingkan dengan pemaknaan keberlawanan Jagal. Tapi se-asing apapun citra Indonesia yang terdapat di film Jagal itu, siasat polemik semacam ini bisa dikatakan sama sekali tidak asing. Bahkan sangat familiar dari wacana Orba sendiri yang membangun pencitraan Indonesia dengan cara berdemarkasi secara tegas seperti garis hitam putih antara “musuh” (yaitu “komunis”) dan negara secara absolut.

Wacana itu persis seperti yang Jagal bermaksud membalikkannya 180 derajat. Kalau ini seperti sebuah kepingan uang yang dibalikkan, saya setuju bahwa hasilnya akan lebih “mendekati hal yang benar-benar terjadi.” Tapi jika esensi siasat ini ternyata juga sangat problematik, adakah perbedaan dampaknya? Ada potensi apa yang muncul dari efek pewacanaan seperti itu? 

Mengorbankan Sejarah demi Pasar Internasional?

Tentu saja salah satu “kesuksesan” rezim Orba bukan hanya menghilangkan oposisi dan seolah-olah melegitimasi diri (negara) sendiri sebagai penguasa yang sangat kuat, tapi juga menciptakan dan mengkaji ulang sejarah politik sebelum ’65 supaya terlihat hanya sebagai pecahan golongan-golongan kanan-kiri dimana dua-duanya dianggap kaku dan bagai dua kutub yang tak pernah bisa ketemu. Oleh karena itu, yang dikorbankan selain kira-kira satu juta jiwa manusia adalah lapangan politik yang sangat dinamis, termasuk kelompok Lekra dan PKI sendiri di mana berbagai macam golongan punya pendapat dan pendekatan atau siasat yang sangat beragam. “Kanan” waktu itu juga sangat jauh dari perspektif monolitik; lihat saja orang-orang macam Asrul Sani dan Misbach Yusa Biran, atau membaca wacana golongan kanan dan kiri yang dua-duanya sangat berpengaruh oleh aliansi dengan Non-Aligned Movement.

Maka salah satu hal yang dikorbankan kini oleh siasat polemik yang lahir ulang di Jagal adalah komunitas aktivis pasca ’98 (dan tentu pasca ’65 ­­–ingat saja Pram di Pulau Buru) di Indonesia yang sangat beragam dan, lebih penting lagi, sejak lama sangat aktif. Citra/wacana yang dibangun oleh Jagal adalah gambaran sebuah negara yang tak tertolong dan bisu terhadap sejarahnya sendiri. Ini sering digarisbawahi oleh Joshua Oppenheimer yang memosisikan filmnya sebagai pembuka “gelombang wacana baru” tentang sejarah Indonesia. Pernyataan-pernyataan macam itu tentu mengandung sebuah kebenaran, tapi juga menyembunyikan sangat banyak hal. 

Siasat dan “kebenaran” negara bisu macam ini juga harus dilihat dalam konteks pasar internasional yang menjadi cukup penting dalam perjalanan film Jagal. Melihat Joshua sebagai pawang kebenaran satu-satunya yang ditunjukkan dalam filmnya, penonton-penonton Amerika, Eropa, dan tempat lain (yang mereka sendiri berkali-kali gagal besar dalam misi “HAM” di Iraq, Afghanistan, Balkan, dan banyak tempat lain) juga kemungkinan besar akan merasa terhibur karena dibuktikan bahwa bantuan heroik dari aktivis negara-negara mereka masih dibutuhkan untuk menentukan jalan terang bagi negara-negara yang disebutkan “underdeveloped” (yaitu Indonesia dalam kasus film ini).

Kalau ini ditambahi dengan citra yang cukup hitam-putih secara wacana politik sejarah, sehingga orang-orang asing yang sama sekali belum tahu sejarah Indonesia tidak merasa terlalu bingung. Dengan kata lain kita punya formula untuk sebuah “hit” di pasar internasional. Hasilnya adalah dunia yang mendadak peduli dan membicarakan Indonesia dengan kacamata dan perhatian baru, tapi juga berdasarkan gambaran yang terdapat dari jutaan “pixel” yang seolah-olah secara monolitik bisu atau jahat. Hal ini mengembalikan kita ke pertanyaan tentang pandangan “asing” tersebut, yang menjadi sebuah kunci di sini.

Pandangan Asing dan “Baju Baru Sang Raja” 

Setiap saya menonton film Jagal ini, pertanyaan yang selalu muncul bagi saya adalah: jika seadainya siasat, wacananya, dan citra Indonesia dibuat lebih komplet dan terbuka secara interpretasi supaya kompleksitas negara dan rakyatnya bisa masuk dan lebih terwacanakan di situ, apakah filmnya akan menjadi kurang laris di pasar? Maka kurang efektifkah sebagai alat aktivisme yang menarik perhatian ke masalah kekerasan Orba?

Ini penting, saya kira, tidak hanya untuk jalan ke depan setelah kemunculan film ini, tapi juga untuk memikirkan film kedua tim Jagal yang belum dirilis, dan katanya akan berfokus kepada “korban.” Maka saya ingin sedikit juga mempertanyakan cara film Jagal merepresentasikan apa dan siapa yang terdapat dibalik kamera dan layar. Tentu kita bisa mengerti sanggahan Anonymous terhadap komentar pemerintah yang menyatakan Jagal merupakan pandangan asing. Dia menyanggah karena memang banyak sekali orang Indonesia yang mengerjakan filmnya secara kreatif dan intelektual. Tapi kalau kita melihat “finished product” yang dibangun oleh timnya, memang yang “terlihat” (dari suaranya yang jelas ada “logat” dan gaya Amerika, padahal cukup lancar dalam bahasa Indonesia) sebagai auteur film ini adalah hanya Joshua. 

Terlebih lagi, ketika dalam filmnya dia sampai ke isu soal solusi masa kini untuk masalah ketidakadilan dan kekerasan masa lalu, dia seolah-olah hanya punya satu bahasa untuk mengkonseptualisasi sebuah proses kebenaran atau penghukuman: dia mengancam membawa salah satu pembunuh ke Den Haag dan/atau diadili oleh hakim dan hukum internasional.

Contoh ini memang bisa dikatakan sebagai perspektif asing (yang terkait dengan peran problematis AS sebagai “polisi dunia” yang secara munafik sering menolak sendiri dengan keras diadili di Den Haag, padahal sudah pernah sering kali berbuat pelanggaran HAM sendiri). Selain ancaman Joshua ini, tidak ada pikiran atau saran lain tentang sebuah solusi yang bisa dilaksanakan di Indonesia. Mungkin ini karena seperti disebut tadi di atas, Indonesia, dalam wacana Jagal, terlihat tidak mampu untuk mencari solusi sendiri, maka akan diadili di wilayah negara-negara Barat yang seolah “netral.”

Saya beruntung, karena saya pernah punya kesempatan untuk bicara agak panjang dengan ko-sutradaranya Jagal yang orang Indonesia lewat Skype (tapi saya tidak diberi tahu identitasnya). Hal-hal yang dia ceritakan soal proses pembuatan filmnya membuat saya cukup mengagumi seluruh tim film ini. Mereka, katanya, mimpi buruk setiap malam waktu berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam proses shooting filmnya, karena mereka merasa bahwa posisi mereka sangat berbahaya, secara keamanan maupun secara etis, karena memang mereka mendekati orang-orang yang mereka pada dasarnya ingin mengkritik dan mengekspos sebagai pembunuh.

Tapi selama enam tahun lebih, mereka tetap berdedikasi kepada proyek ini. Sangat sayang, menurut saya, bahwa ketegangan dan keberagaman dibalik kamera sama sekali tidak terasa di filmnya yang dibuat dari proses tersebut. Justru kita hanya dapat mendengarkan Joshua sebagai suara “rasionalitas asing” yang selalu kalem dan bertemperamen manis, dan mampu mengoda pembunuh untuk menceritakan kekerasaan masal yang mereka pernah berbuat. 

Dalam wawancara (VOA), Joshua membandingkan proses pembuatan dan peredaran Jagal dengan sebuah kisah kanak-kanak oleh Hans Christian Andersen, “The Emperor’s New Clothes”. Menurut Oppenheimer, film Jagal itu seperti anak kecil dalam ceritanya yang membuka mata dan mulut rakyat dengan cara yang sangat sederhana: dia melihat raja yang tidak memakai baju, dan dia mengatakannya secara umum. Setelah itu (intinya) raja jatuh, dan pemimpin harus jujur dengan rakyat, yang juga mampu mengkritik.

Yang sangat pas di sini adalah bahwa Jagal menawarkan posisi aktivisnya sendiri yang seolah-olah seperti anak kecil yang lucu dan tidak bersalah, juga belum bisa dikatakan terlibat dalam arus politik atau ekonomi apapun: sehingga dia merupakan posisi moral/etis yang paling bersih dan oleh karena itu tidak boleh dipertanyakan (sebaliknya, Jagal melihat Indonesia sebagai anak yang serba nakal dan tidak pernah dewasa). Tapi kita tahu dengan sangat bahwa posisi seperti itu merupakan pandangan “asing” karena tidak akan pernah ada di mana-mana dan kapan pun.


Siasat film ini yang mendudukkan diri sendiri sebagai pembicara tunggal sebuah “kebenaran baru” dan menggambarkan perubahan 180 derajat nasib dan politik sebuah negara tentu tidak hanya dikenali dan dibangun dari kisah kanak-kanak, tetapi juga dari sejarah yang diceritakan oleh Orde Baru sendiri sejak 1965. Akhirnya, saya berharap bahwa tim film Jagal berikutnya mampu mengeluarkan diri mereka dan karyanya dari wacana mitos seperti itu.



*) Dag Yngvesson adalah filmmaker dan kandidat doktor bidang Cultural Studies di University of Minnesota, USA.



Catatan:
1. Perspektif saya tentang film Act of Killing merupakan akumulasi dalam beberapa pemutaran dan diskusi tentang filmnya dan proses lama belajar dan meneliti sejarah (dan sejarah sinema) di Indonesia. Juga berdasarkan pertanyaan-pertanyaan saya yang muncul dari film-film dokumenter lain tentang Indonesia, seperti Bentuk Bulan (2004) oleh Leonard Retel-Helmrich, yang juga menjadi sangat "laris" di pasar festival film International.
2. Leslie Dwyer (forthcoming di Critical Asian Studies Journal) juga mengutip Oppenheimer (dari wawancara di Documentary Channel) memakai contoh kisah "The Emperor's New Clothes" dari Hans Christian Andersen. Professor Dwyer juga menaruh perhatian dengan bagaimana Joshua memposisikan Act of Killing sebagai kebenaran baru yang kemungkinan menutup sejarah aksi dan pandangan kritis oleh para "korban" 1965 di Indonesia. Persfektif saya tentang sejarah aktivisme di Indonesia terisnpirasi oleh banyak diskusi dengan Leslie Dwyer, Degung Santikarma, dan Rachmi Diyah Larasati, dkk.


Berita Terbaru

 
Top