Slider

Senin, 02 September 2013
0 komentar

Merpati Kecil, Menangkanlah Hatimu! (*Catatan dari Rumah Boneka oleh Sjamsul Kahar)

12:25

KHASANAH teater Banda Aceh, tampaknya berhutang budi pada pementasan Rumah Boneka, Jumat dan Sabtu malam akhir pekan ini. Hampir dua jam, setengah penonton bergeming dalam keterpukauan pada lakon-lakon di depan mereka. Walhasil, aplaus panjang penonton pun spontan terdengar setelah proses antiklimaks Rumah Boneka dirumuskan dalam ending malam itu.
Pementasan Rumah Boneka, Jumat (30/9), di Gedung Sultan Selim II, Banda Aceh, cukuplah jika menyumbang pelajaran berharga. Tidak hanya bagi pekerja atau peminat teater di Aceh, tapi juga menjadi pembuka era baru bagi kaum penonton drama. Totalitas pertunjukan malam itu memang bagus, kendati ada persoalan-persoalan klasik pada setiap pertunjukan drama menyertainya.
Drama realis karya Hendrik Ibsen itu ditulis pada abad ke-19, sekitar 100 tahun yang lalu. Toh, tema yang diangkat tetap relevan untuk masa kini. Masalah rumah tangga sehari-hari, dengan konten seorang istri yang merasa ditindas oleh suami, pasti menarik. Terutama bagi kaum perempuan yang merentang perjuangan mencari kebebasan.
Naskah asli yang berlatar Norwegia abad XIX itu diterjemahkan untuk Indonesia oleh dramawan kondang dan sekaligus aktivis perempuan Faiza Mardzoeki. Faiza, pada hakekatnya, telah mengubah latar Skandinavia, ke dalam setting Jakarta kontemporer. Tapi, bagusnya, ketika dipentas di Aceh Rumah Boneka telah “disyariatkan” dengan menyunat bagian-bagian dan dialog tertentu. Kalau tidak, pastilah akan menuai kritik tajam. 
Soal sunat menyunat ini tak perlu diperdebatkan. Soalnya, sutradara Wawan Sofwan telah menggarap pertunjukan Rumah Boneka dalam manajemen teater yang “akademik” semuanya terukur secara pasti. Drama realis memerlukan kecermatan yang sekiur.
Alur cerita, bagian-bagian lakon, penataan panggung, interaksi dengan penonton telah diupayakan sedemikian rupa. Sehingga, ketika masuk ke ruangan, Gedung Sultan Selim II yang notabene bukanlah gedung teater, telah tertata rapi. Setidaknya, syarat-syarat dasar ruang teater telah terpenuhi.
Pentas Sultan Selim sebetulnya kecil sekali untuk keperluan drama. Tapi, luar biasa, areal pentas telah melebar dengan memanfaatkan wilayah tangga menjadi satu kesatuan. Kondidi akustik yang tadinya sangat buruk, dicoba atasi dengan menempelkan bahan peredam suara di seluruh dinding pentas. Itupun memberi efek dekorasi yang serasi dengan tuntutan cerita.
Setting dekor untuk drama realis, memang tak bisa lain, kecuali menghadirkan keadaan seperti aslinya ke pentas. Maka ada dua set sofa, piano besar, sebuah bufet tempat dipajangnya kotak-kotak hadiah tahun baru, atau barang belanjaan lainnya. Semuanya cukup, terukur bahan dan lokasinya  Dukungan pencahayaan, sound system, juga wah. Semuanya menunjukkan  besarnya biaya dan upaya  produksi. Last but not least, pertunjukan malam itu pun dimulai.
***
Drama ini bermula pada kisah Nora, seorang isteri setia yang telah mencoba berbuat baik pada suaminya ketika sakit. Nora (diperankan oleh Heliana Sinaga) diam-diam meminjam uang Rp 200 Juta pada Togar seorang pengacara bank. Togar (diperankan Teuku Rifnu Wikana) melalui proses surat hutang yang diperjaminkan kepada ayah Nora. Tapi Nora telah memalsukan tanda tangan ayahnya yang keburu meninggal.
Dengan itu, Nora membawa suaminya Tommy Hertlambang (diperankan oleh Ayez Kassar) ke Singapura, dan berhasil sembuh. Sekembali dari Singapura Tommy diangkat menjadi direktur bank tempatnya bekerja.
Celakanya, dalam kedudukan itu Tommy harus memecat Togar dari bank tempat dia bekerja. Padahal, Togar adalah orang yang telah meminjamkan uang pada isterinya. Togar dipecat karena memalsukan tanda tangan, suatu kesalahan yang juga dilakukan Nora ketika meminjam uang dari Togar.
Persoalan jadi rumit, ketika Togar datang kepada Nora minta agar mantan penari Ballet itu bisa membujuk suaminya untuk tidak memecatnya. Tentu saja Togar mengancam, kalau dirinya dipecat, maka rahasia Nora akan dibongkar dan reputasi Nora termasuk Tommy akan hancur.
Nora menceritakan persoalan itu pada dr Franky (diperankan oleh Williem Bevers) sahabat keluarga, juga pada Lynda (diperankan Ayu Dyah Passa) sahabatnya yang datang dari Surabaya untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Lalu ada Bibi Henni (Pipien Putri) pembantu rumah tangga yang juga mengasuh dua anak Nora.
Cerita berakhir ketika konflik antara Tommy dan Nora memuncak disebabkan rahasia itu dibongkar oleh Togar, meskipun bahaya perbuatan Togar urung kemudiannya ketika Togar mengembalikan dokumen hutang, dan membiarkan kasus itu berlalu. Konflik yang seyogianya melukiskan penderitaan Nora itu diakhiri dengan sikap Nora meninggalkan rumah, suami dan anak-anaknya, pergi ke alam bebas untuk kemenangan dirinya sendiri.
***
Kisah itu dibagi dalam tiga babak. Digarap dengan bagus memenuhi proses dialektik drama realis. Proses penggawatan di mana tesis diletakkan telah berjalan bagus. Kemampuan individual para pendukungnya sangat berguna untuk memadukan akting, dialog, dan bloking. Sangat teratur semuanya. sampai pada sintesis di babak kedua, semua berhasil baik. Selepas itu masalah mulai timbul.
Isi dialog Nora dan Lynda, yang menjadi bagian penting dalam komunikasi dengan penonton, tak bisa ditangkap dengan baik, bahkan di ruang tengah auditorium.
Entah karena mereka terbiasa bermain di ruang teater yang sempurna, pengucapan dialog keduanya agak merosot. Intonasi dan artikulasinya tidak cermat. Kesempatan bermelodrama di sini tidak dipergunakan. Padahal pada titik itu Nora harus berhasil dengan kuat membangun citra dirinya sebagai isteri yang sangat setia, tapi menderita, sekaligus penggambaran diri sebagai perempuan yang hakiki.
Ketika dr Franky, dokter yang sakit-sakitan, sahabat keluarga, atau entah apa lagi namanya membuka isi hatinya, Nora menolak. Adegan itu, seharusnya makin memperkuat posisi kesetiaan di satu pihak, tapi di pihak lain ia adalah wanita hakiki yang wajar saja menyimpan sesuatu dalam hatinya. Vokal dr Franky cukup bagus, sebagaimana para pemain laki-laki lainnya. Tapi Nora, di sini mengalami problema dialog.
Tak tau lah siapa yang harus disalahkan. Tapi kenyataan itu sangat merugikan. Penonton tak bisa memahami bagaimana penderitaan Nora yang dipendamnya selama delapan tahun.
Padahal penonton sangat toleran. Penonton hening, bahkan sampai berbisik pun tampaknya tak berani. Dialog-dialog panjang memang membutuhkan teknik vokal yang sempurna. Para pemain drama, atau bahkan sutradara pun sering mengabaikan masalah ini.
Dialog panjang menjadi kering, tanpa manajemen emosi. Suspensi yang kacau, bisa membuat drama sebagus Rumah Boneka itu menurun kehebatannya. Sehingga tak heran ketika pertunjukan berakhir, seorang ibu-ibu bertanya pada temannya. “Kenapa ya, Nora itu tega meninggalkan suami dan anak-anaknya, dan melepaskan tanggung jawab hanya kepada seorang pembantu?”
Pertanyaan itu agaknya mewakili perasaan penonton lain, ketika mereka harus menerima antiklimaks yang tampak dingin dan berantakan. Yang ingin dicapai Ibsen maupun Faiza, adalah keberpihakan kaum perempuan, atau penonton umumnya pada Nora.
Bahwa sikap Nora, adalah sikap yang benar dan cukup beralasan. Dan konsep kebahagiaan versi  Herlambang, bersumpah untuk menyayangi, dan mempersembahkan rezeki yang melimpah, tak perlu digubris.  Biarlah derita penindasan kaum lelaki itu dilawan secara berani. Nora si angsa putih, atau merpati kecil  itu memang harus terbang ke alam bebas memenangkan hatinya.
Pertunjukan drama di manapun tak pernah sepi dari dosa-dosa kecil, dan terkadang dosa besar. Karya-karya seniman memang dihargai dengan penyampaian kritik. Dan sudah terbiasa pula sang seniman menampik kritik dengan menggunakan berbagai argumen.
Ego kesenimanan selalu membuat mereka menjadi mahluk yang agung dari yang lainnya. Itu soal biasa. Terhadap Rumah Boneka tidak hanya pantas dipuji-puji, tapi juga dikritik sebagai respon atas keberhasilannya.
Itulah pelajaran penting bagi kaum teaterawan di daerah ini. Inspirasi yang diprakarsai Komunitas Tikar Pandan seharusnya membangunkan seni teater di sini yang telah lama tertidur. (Sjamsul Kahar)   
Teater Rumah Boneka
* Rumah Boneka merupakan sebuah naskah karya yang diadaptasi dari karya asli penulis drama asal Nowegia, Henrik Ibsen berjudul “A Doll’s House”.
* Drama realis ditulis pada  abad ke-19, sekitar 100 tahun yang lalu
* Ditermahkan untuk Indonesia oleh dramawan kondang dan sekaligus aktivis perempuan Faiza Mardzoeki
* Teater yang berkisah tentang perempuan itu diperankan oleh aktris nasional antara lain Heliana Sinaga, Ayu Dyah Pasha, Ayez Kassar, Teuku Rifnu Wikana, Willem Bevers, Pipien Putri. Serta dua anak Aceh, yaitu Nahla Azayaka Rivadsyaharani dan Sultan Pasha
* Di Aceh, pertunjukan teater bertajuk “Rumah Boneka” ini dilaksanakan oleh Komunitas Tikar Pandan bekerja sama dengan Institut Ungu, didukung Kedutaan Besar Norwegia untuk Indonesia
* Pertunjukan berlangsung di Gedung Sultan Selim II, Banda Aceh, Jumat dan Sabtu (30-31 Agutus) malam
* Sebelumnya, teater ini telah berlangsung di beberapa daerah, seperti Jakarta, Bandung, juga di Timor Leste

Sumber asli: Serambi Indonesia

Berita Terbaru

 
Top