![]() |
Para siswa menyapa penonton saat pementasan teater [Firdaus Yusuf] |
Banda Aceh—Puluhan remaja berjalan dengan menghentak-hentakkan kaki. Mereka melangkah mengitari panggung di salah satu ruangan di lantai dua Gedung ACC Sultan II Selim, Banda Aceh. Sejurus kemudian, puluhan remaja lainnya melakukan hal serupa dari deretan bangku penonton paling atas menuju ke bawah. Mereka mengenakan seragam sekolah—walaupun ada satu dua yang berseragam bebas. Suara serunai lantas terdengar mengiringi langkah mereka.
Sabtu, (14/12/2013) malam, 127 siswa yang terdiri dari SMP Lhoknga, MAN 2 Banda Aceh, Panti Asuhan SOS Lamreung, dan SMP/SMA Methodist, mementaskan teater yang berjudul “Dum”. Acara tersebut merupakan serangkaian acara yang dilaksanakan oleh Komunitas Tikar Pandan—bekerja bersama dengan sejumlah lembaga lainnya—untuk memperingati sembilan tahun tsunami Aceh.
“Tembak! Tembak!” kalimat itu diulang berkali-kali oleh narator. Dibalik layar putih, tampak bayang jari-jari tangan yang berbentuk pistol tertuju ke segala arah. Suara-suara tembakan pecah.
Adegan pembuka itu menunjukkan keadaan Aceh pada saat dilanda 32 tahun konflik bersenjata. Tak lama setelah adegan yang membuat tegang seluruh penonton itu usai, kemudian menyusul adegan anak-anak sekolah yang menjalani senam pagi. Selanjutnya mereka salat berjamaah dengan khusu’.
Tiba-tiba, panggung menjadi riuh. Suara azan menggema. Para pelakon teater itu saling berpelukan satu sama lainnya. Ada juga yang melompat-lompat. Gempa yang kemudian disusul dengan tsunami menjadi salah satu babak yang juga ditampilkan dalam pertunjukan tersebut. Para siswa tersebut memerankan mayat-mayat yang bergelimpangan setelah terjangan tsunami.
Seorang ibu terlihat gamang karena kehilangan anaknya. Dia mencari anaknya. Si ibu tersebut menyibak satu persatu mayat yang tertutupi kain putih. Dia akhirnya berhasil menemukan anaknya yang menangis tersedu-sedu dan berjalan terpincang-pincang. Mereka saling berpelukan.
Tibalah pada adegan evakuasi korban tsunami dan masa rehabilitasi. Pertunjukan adegan pembangunan Aceh pasca tsunami, membuat ratusan penonton tertawa dan berdecak kagum. Bayang-bayang truk dibalik layar putih yang mengangkut sampah serta bayang pembangunan rumah, jembatan, dan penghijauan; terlihat begitu mengesankan.
Tatkala menyuguhkan fase di mana Aceh mulai berbenah diri, baik itu dari derita konflik maupun puing-puing tsunami, para pelakon teater tersebut kembali bersekolah seperti sedia kala.
Teater Dum memotret realitas kehidupan remaja di Aceh pasca tsunami hingga saat ini, sebagai klimaks dari pertunjukan tersebut: ada yang ugal-ugalan di jalan, mabuk-mabukkan, dan ada pula yang mengolok-olok guru di dalam kelas. Yang polos menjadi ejekan dan yang rajin belajar seolah norak dan tidak gaul. Tragedi seperti kecelakaan lalu lintas dan kenakalan remaja juga ditampilkan.
Kehidupan dua keluarga yang begitu bertolak belakang juga menjadi salah satu bagian dari pertunjukan tersebut. Teater Dum mengisyaratkan bahwa pola asuh orang tua ikut menentukan pembentukan karakter anak.
Di akhir pertunjukan, ada adegan seorang ibu dan anak-anaknya yang duduk di ruang keluarga. Si ibu bertanya pada anak-anaknya: “Kalau sudah besar kalian mau jadi apa?”
“Saya mau jadi Wali Kota agar bisa membangun Aceh,” jawab salah seorang anaknya.
“Saya ingin jadi guru biar bisa membagi ilmu,” jawab yang lainnya.
Yang terakhir menyambar, “Saya mau jadi artis. Mau jadi penyanyi dan Miss Indonesia.”
Saat mengakhiri pertunjukan, para pelakon teater menitipkan pesan tentang semangat dalam meraih cita-cita. Mereka menyanyikan lagu Laskar Pelangi yang dipopulerkan oleh group band Nidji.
Tiga Konsep dalam Pementasan Teater Dum
Sutradara Teater Dum Agus Nur Amal atau yang akrab disapa Agus PMTOH, yang ditemui The Globe Journal seusai pementasan, menuturkan, dia memasukkan tiga konsep dalam pementasan teater Dum, yaitu teater gerak, teater wayang (teater bayang), dan drama.
“Ide cerita dari anak-anak. Teater gerak dimaksudkan untuk mengenal gravitasi bumi, bagian dari kesadaran terhadap alam. Kesadaran dan kesiapan diri terhadap bencana. Kedua, teater bayang atau teater wayang, itu semacam kenangan masa lalu, tapi bisa juga untuk menunjukkan harapan-harapan masa depan. Dan drama, itu yang menjadi realitas dari masyarakat itu sendiri,” kata Agus, menjelaskan.
Firdaus Yusuf | The Globe Journal
Minggu, 15 Desember 2013 01:43 WIB
Sumber asli: Berita