Slider

Senin, 14 Desember 2009
0 komentar

Semen yang Langka & Gerakan yang Dibungkam

18:13

Bahkan pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dapat disumbang pabrik raksasa itu, lebih kecil daripada penerimaan dari sarang wallet pertahun yang mampu menyumbang Aceh Besar 1 Milyar rupiah. Sementara Lafarge hanya menyumbang Rp. 800 juta, itu pun setelah dipangkas untuk gratifikasi para pejabat setempat.

Mengapa perlu kalkulasi? Karena berdasarkan keterangan Lafarge hanya 20 % saja semen yang diproduksi beredar di Aceh, selebihnya sebanyak 80 % di ekspor keluar Aceh. Inilah yang selalu menjadi masalah kelangkaan semen di Aceh.

Jadi, sumbangan sumbangan terbesar Lafarge bagi Aceh adalah ispa dan limbah yang mencemari tanah dan merusak keanekaragaman hayati yang merupakan objek wisata yang paling menjanjikan. Tapi saat itu, tepatnya dua tahun lalu, Pemerintah Aceh dengan angkuh memutarbalikkan fakta dengan menyebutkan bahwa kami, masyarakat setempat hanya menuntut pekerjaan di perusahaan yang didanai Lafarge itu.

Bayangkan, alasan yang sangat dibuat-buat karena Lafarge hanya sanggup menampung karyawan sebanyak 200 orang saja, namun sumbangan tersebut telah menjadi propaganda culas Lafarge untuk membungkam gerakan kami. Bahkan gerakan kami dicap sebagai perusak perdamaian dan menghalangi investasi, sehingga mulai saat itu, setelah ditutup 12 hari oleh masyarakat, Pemerintah Aceh dengan arogan menurunkan pihak keamanan dengan alasan mengamankan investasi.

Pada hari-hari itu ada banyak fakta yang kami kemukakan pada Pemerintah Aceh, termasuk peningkatan produksi semen dari 1 juta ton menjadi 1,8 juta ton, akan menjadi hal yang sangat berbahaya karena peningkatan produksi akan dibarengi dengan peningkatan energi dan debit air. Pembangunan PLTU berbahan bakar batubara adalah bagian dari peningkatan produksi ini, dan bagian dari kehancuran paru-paru dan pernafasan kami lebih jauh. Lagi-lagi kami tidak digubris, bahkan untuk menyalahkan akal sehat kami, Pemerintah Aceh dibantu oleh beberapa NGO Lokal dan Internasioanal mengungdang para ilmuwan sekelas Profesor dan doktor dari luar Aceh untuk melakukan penelitian ulang. Pernyataan-pernyataan kami tentang kahancuran masa depan kami ini tidak pernah ditanggapi, justru yang kami dapatkan adalah pemalsuan AMDAL pesanan yang telah dikarang (dan diakui sendiri) oleh peneliti dari Universitas Syiah Kuala karena dana penelitian murni dari Lafarge. Lebih lanjut Pemerintah Aceh membungkam gerakan rakyat Lhoknga-Leupng dengan menurunkan pihak keamanan demi alasan mengamankan investasi. Dan semua orang tahu, bahkan juga eskavator, bahwa kekuatan militer sekarang digunakan mereka untuk membungkam gerakan rakyat. Sangat jauh berbeda dengan tahun 1990an saat keduanya masih mengutuk represif militer sekaligus musuh keduanya.

Kembali lagi ke masalah kelangkaan semen, apakah gerakan kami patut dipersalahkan karena semen langka? Atau kita akan duduk dan berduka bersama karena pencemaran lingkungan tidak sebanding dengan alokasi semen apalagi untuk mendongkrak pendapatan untuk daerah kita? Inilah sumber keharuan utama saya di atas!
Menjawab fenomena kelangkaan semen diatas, Pemerintah Aceh menyikapi dengan statemen bersama yang dikeluarkan dalam rapat pada tanggal 25 November 2009 yang dihadiri oleh Biro Pembangunan Sekretariat Propinsi Aceh, Lafarge, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh dan para distributor di Banda Aceh. Kepala Biro Pembangunan Sekretariat Propinsi Aceh, Ir. Izhar MM dalam pernyataannya menyatakan bahwa krisis semen yang terjadi akhir-akhir ini di Aceh disinyalir akibat ada pihak rekanan pemerintah yang terkesan lalai hingga harus mengejar pekerjaannya agar cepat selesai hingga akhir tahun ini sehingga memakai semen dalam jumlah tinggi.

Sedangkan pihak manajemen Lafarge yang diwakili Asmara Jaya mengatakan: bahwa tersendatnya pengiriman semen karena ada masalah pada saat loading ke kapal di Langkawi, dan akan segera dikoordinasikan. Dan pihak SAI akan memasok sebanyak 25 ribu ton secara bertahap untuk mengatasi kelangkaan.

Mereka, para komprador ini, membuat pernyataan seperti pelawak, sementara limbah pelan-pelan telah melingkupi kampung dan udara kami, bahkan lebih buruk dari debu, meskipun kami selalu diimingi dengan tempat yang lebih baik untuk mengungsi. Tapi ingat kami tetap tidak akan beranjak! Ini tanah kami! Kami akan mempertahankannya meskipun harus berkubang debu dan limbah di tanah kerontang dan penguasa menjadi bagian yang paling intim dengan pabrik yang jahat!

Berkaitan dengan hal tersebut, Ketua KADIN Aceh, Firmandez mengatakan, "Kita perlu mempertanyakan kelangkaan semen ini, pasalnya Aceh memiliki parik semen dan saat ini masih berproduksi, jika pabrik semen yang ada di Aceh tidak mampu memenuhi permintaan lokal maka sewajarnya kita memasok semen dari luar daerah Aceh".

Dari ketiga statemen diatas terlihat beberapa hal yang penting untuk dikaji lebih lanjut. Pertama, pernyataan Biro Pembangunan Sekretariat Propinsi Aceh terkesan memasang badan dengan mengatakan persolan kelangkaan semen karena ulah kontraktor. Bahkan kalau mau dilihat lebih jauh, strategi pasang badan ini terkesan tercela karena mengundang dan menjaga investor agar tetap bertahan di Aceh tanpa peraturan dan kebijakan yang terkontrol dan akuntabilitas serta transparansi hanya akan merugikan Aceh dan akan terkesan Aceh adalah lahan tak bertuan. Bahkan dahsyatnya memasang badan dengan memaparkan kebobrokan manajemen pengelolaan pembangunan di Aceh. Mestinya tugas pemerintah adalah membuat regulasi agar semua proses pembangunan berjalan maksimal. Bukan mencari kambing hitam disaat semua tidak berjalan maksimal.

Begitupun kebijakan menyangkut investasi. Jelas aturan dan kebijakan yang selama ini ada seperti Qanun Penanaman Modal Asing dan Tata Ruang yang tidak mengakomodir kepentingan rakyat, tapi sebaliknya kian memperlemah posisi tawar Pemerintah Aceh dimata investor.

Kedua, pernyataan Lafarge tentang usaha meningkatkan pasokan untuk Aceh sebanyak 25 ribu ton. Kita perlu mempertanyakan lebih lanjut kepada pemilik pabrik, sebenarnya 25 ribu ton itu berapa persen dari total produksi yang dihasilkan Lafarge setiap tahunnya? Alokasi 25 ribu ton dari 1,8 juta ton hanya 2% saja bukan 20% seperti janji Lafarge. Ini penting dikalkulasi karena disinilah kita bisa mengetahui dengan pasti siapa sesungguhnya yang sedang berbohong?

Ketiga, pernyataan KADIN Aceh yang cukup cerdas dengan mempertanyakan keberadaan Lafarge apakah masih layak dipertahankan jika pasokan semen selalu saja menjadi masalah di Aceh. Menarik menjadi perbincangan yang menghasilkan rumusan dan kalkulasi cerdas baik dari segi investasi, ukuran kesejahteraan, dan dampak negatif dari perusahaan semen tersebut. Dengan rumusan kebijakan yang akurat dan memihak kepada kesejahteraan rakyat maka investor juga tidak akan tunggang langgang meninggalkan gelanggang dan martabat Aceh juga akan tetap terjaga.***

Berita Terbaru

 
twitter facebook Youtube rss feed
Top